Puasa Sunnah merupakan amal ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan. Selain karena keutamaan pahala dan surga-Nya, ada juga keutamaan pada sisi kesehatannya. Puasa ini bukan sekadar menahan diri dari lapar dan dahaga, tetapi juga menjadi bentuk latihan diri untuk disiplin, sabar, dan meningkatkan kepekaan sosial terhadap sesama. Puasa sunnah menjadi ibadah tambahan yang dapat membantu mencapai keseimbangan fisik dan mental, serta memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Dua puasa sunnah yang dianjurkan adalah puasa Senin-Kamis dan ayyamul bidh.

 

Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh

Puasa ayyamul bidh merupakan puasa yang dilaksanakan pada hari-hari pertengahan bulan Hijriah, yaitu tanggal 13, 14, dan 15. Dalil yang lebih kuat menyebutkan pelaksanaan puasa ayyamul bidh sebagai berikut:

Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” [1]

Dari Ibnu Milhan Al Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ . وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ
“Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” [2]

Dalil Puasa Tiga Hari

Namun, ada juga dalil yang menguatkan puasa tiga hari dalam sebulan tanpa terbatas di pertengahan bulan. Salah satu hadits yang membicarakan hal ini adalah:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (Rasulullah ﷺ) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: 1- berpuasa tiga hari setiap bulannya, 2- mengerjakan shalat Dhuha, 3- mengerjakan shalat witir sebelum tidur.” [3]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” [4]

Dari Mu’adzah Al-‘Adawiyyah, ia pernah bertanya kepada Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَتْ نَعَمْ. فَقُلْتُ لَهَا مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ لَمْ يَكُنْ يُبَالِى مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ
“Apakah Rasulullah ﷺ biasa melaksanakan puasa tiga hari setiap bulannya?” Aisyah menjawab, “Iya.” Ia pun bertanya, “Pada hari apa beliau berpuasa?” Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperhatikan pada hari apa beliau berpuasa dalam sebulan”[5].

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa puasa pada ayyamul bidh lebih utama jika ada kemudahan untuk mengerjakannya. Namun, jika sulit, cukup berpuasa tiga hari pada hari mana saja yang disuka.

 

Manfaat Puasa Sunnah bagi Kesehatan

Puasa sunnah memiliki banyak manfaat, tidak hanya dalam aspek spiritual tetapi juga untuk kesehatan. Selain itu, puasa memberikan jeda bagi sistem pencernaan, memungkinkan tubuh memperbaiki sel-sel dan mengeluarkan racun. Proses detoksifikasi alami ini mirip dengan efek olahraga, yang meningkatkan sirkulasi darah dan memperbaiki metabolisme.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Perut itu tempat bermula penyakit dan berpuasa adalah obatnya.” [6]. Hadits ini mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan melalui pengaturan makan. Dengan demikian, puasa memiliki efek penyembuhan yang membantu menjaga keseimbangan kesehatan tubuh.

 

Efek Mental dan Emosional Puasa

Selain manfaat fisik, puasa juga mendatangkan keseimbangan mental dan emosional. Mirip dengan efek olahraga yang merangsang hormon endorfin, puasa melatih disiplin, kesabaran, dan pengendalian diri. Sebagai hasilnya, puasa mendukung ketenangan dan kesejahteraan batin. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:
وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [7]

 

Penutup

Puasa sunnah adalah alat kesehatan yang sejalan dengan prinsip olahraga. Oleh karena itu, dengan menggabungkan puasa sebagai ibadah dan olahraga sebagai kebiasaan fisik, seseorang dapat meraih kesehatan tubuh, ketenangan pikiran, dan kedekatan spiritual secara optimal.

 

Sumber
[1] HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasa’i no. 2425. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa haditsnya hasan. (1)
[2] HR. Abu Daud no. 2449 dan An Nasa’i no. 2434. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. (1)
[3] HR. Bukhari no. 1178 (2)
[4] HR. Bukhari no. 1979 (2)
[5] HR. Muslim, no. 1160
[6] HR. Ibnu Majah
[7] QS. Al-Baqarah: 184 (3)

Laman web referensi:
(1) Muslim.or.id – Dalil Puasa Ayyamul Bidh
(2) Rumaysho – Amalan Ringan #10 : Puasa Tiga Hari
(3) Ilmu Syariah Doktoral UIN Suka – K3 Puasa: Kesehatan, Keselamatan, dan Kesiapsiagaan

Baca artikel terkait kami:

Oleh Putut Sutarwan

Makna Bekerja

Dalam al-Qur’an kata “kerja” digunakan beberapa istilah: ‘amal (kerja), kasb (pendapatan), sakhkhara (untuk mempekerjakan atau mengguna), ajr (upah atau penghargaan), ibtigha’a fadl Allah (mencari keutamaan Allah ﷻ). Bekerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia melakukan suatu pekerjaan (perbuatan); berbuat sesuatu. Dalam kamus lain menyebutkan, bekerja ialah aktivitas yang merupakan usaha badan atau usaha akal yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu, lebih dari sekedar hiburan. Dalam Ensiklopedi Indonesia bekerja diartikan sebagai pengerahan tenaga baik pekerjaan jasmani maupun rohani yang dilakukan untuk menyelenggarakan proses produksi. Jadi bekerja berarti aktivitas bertujuan memperoleh hasil, mencakup kerja lahir dan batin.

Bekerja dalam pandangan Islam merupakan kerja lahir yang merupakan aktivitas fisik dan juga kerja batin dalam hal ini kerja otak dan kerja hati (qalb). Bekerja merupakan salah satu amal saleh yang menjadi kewajiban setiap umat Islam. Tentunya, Islam menganjurkan dan mewajibkan manusia untuk bekerja dan mencari rezeki yang halal dan baik. Bekerja dalam Islam merupakan usaha yang dilakukan dengan serius dengan cara mengerahkan semua tenaga dan pikiran.

Bekerja dalam Prespektif

Islam bukan hanya agama langit, tetapi sekaligus agama yang dapat membumi, oleh karenanya Islam memandang bekerja sebagai fitrah. Manusia adalah makhluk yang bekerja (homo faber), bahkan manusia tidak akan mendapatkan suatu apa pun kecuali apa yang diusahakannya. Sehingga tidak mengherankan jika sering didengar bahwa masuk surga atau neraka sangat ditentukan oleh perbuatan seseorang, atau usahanya ketika hidup di dunia. Perlu ditekankan supaya manusia bekerja atau berusaha untuk kebaikan serta dengan cara yang baik, sebab orang yang beriman dan bekerja dengan baik maka Allah ﷻ akan memberi kehidupan yang baik pula. 

Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah ﷻ (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56). Salah bentuk ibadah yang bersifat umum adalah bekerja. Tidak ada kesuksesan, kebaikan, manfaat atau perubahan dari keadaan buruk menjadi lebih baik kecuali dengan kerja menurut bidang masing-masing. Melalui kerja manusia menyatakan eksistensi dirinya dalam kehidupan bermasyarakat, karena bekerja pada dasarnya merupakan realitas fundamental bagi manusia dan karenanya menjadi hakikat kodrat yang selalu terbawa dalam setiap jenjang perkembangan kemanusiaannya, sebab dengan kerja manusia dapat melaksanakan pembangunan perekonomian masyarakat dan sekaligus sebagai cermin pelaksanaan perintah agama.  

Allah ﷻ berfirman,

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Q.S. Al-Qashshash [28]: 26).

Dari ayat ini, terdapat kata Al-Qawiy dan Al-Amîn yang dijadikan landasan bagi orang yang berkerja (pada kita). Al-Qawiy, yaitu memiliki kapabilitas (kompentesi yang baik) dan pandai untuk menjaga amanat, dan juga melakukan hal-hal yang mendukung sehingga pekerjaan bisa sempurna.  Al-Amîn, yaitu tahu akan kewajiban sebagai orang yang diserahi amanat.

Dari Abu Abdillah Zubair bin Awwam, ia berkata Rasulullah bersabda, 

ﻷَﻥْ ﻳَﺄْﺧُﺬَ اَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺍَﺣْﺒُﻠَﻪُ ﺛُﻢَّ ﻳَﺎْﺗِﻰ ﺍﻟْﺠَﺒَﻞَ ﻓَﻴَﺎْﺗِﻰَ ﺑِﺤُﺰْﻣَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺣَﻄَﺐٍ ﻋَﻠَﻰ ﻇَﻬْﺮِﺥِ ﻓَﻴَﺒِﻴْﻌَﻬَﺎ ﻓَﻴَﻜُﻒَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺧَﻴْﺮٌﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺍَﻥْ ﻳَﺴْﺄَﻝَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺍَﻋْﻄَﻮْﻩُ ﺍَﻭْ ﻣَﻨَﻌُﻮْﻩُ  .

Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. (H.R. Bukhari, no. 2073). 

Dari sini jelaslah bahwa tidak ada alasan seorang muslim menganggur, apalagi menjadi jumud yang kehilangan semangat inovatif. 

Disebutkan dalam dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. (H.R. Muslim, no. 2664).

Bekerja Bagian dari Iman

Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai ‘abdullah (hamba Allah). Bekerja dan kesadaran bekerja mempunyai dua dimensi yang berbeda menurut takaran seorang muslim, yaitu bahwa makna dan hakikat bekerja adalah fitrah manusia yang sudah seharusnya demikian (conditio sine quanon). Sedangkan kesadaran bekerja akan melahirkan suatu improvements untuk meraih nilai-nilai yang bermakna, dia mampu menuangkan idenya dalam bentuk perencanaan, tindakan, serta melakukan penilaian dan analisa tentang sebab dan akibat dari aktifitas yang dilakukannya (managerial aspect). 

Dengan cara pandang seperti ini, setiap muslim tidak akan bekerja hanya sekedar bekerja; asal mendapat gaji, dapat surat pengangkatan, tunjangan, akan tetapi kesadaran bekerja secara produktif dengan dilandasi tauhid dan tanggung jawab Uluhiyah merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter kepribadian seorang muslim.

Allah berfirman, 

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Q.S. al Insyirah [94]: 7). 

Dalam ayat ini terkandung amar (perintah) yang berarti bahwa hal itu wajib dilaksanakan, artinya siapapun yang hanya berdiam diri dan pasif tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah mengabaikan perintah Allah . Allah memberikan gelar kepada manusia sebagai khaira Ummah (the best society), gelar itu tidak akan berarti apabila tidak ada semangat bekerja, serta usaha untuk menanamkan ideologi bahwa bekerja, berkreasi, dan berinovasi adalah indah. Sebaliknya, pribadi yang malas dan bermental pengemis hanyalah akan mengorbankan masyarakat dan bahkan generasi yang terjajah dan terbelenggu, tak punya wibawa, wujuduhu kaadamihi (ada dan tiadanya sama saja).

Dalam Islam, rezeki memang menjadi urusan Allah dan sebagai hamba-Nya, manusia diwajibkan untuk selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencari rezeki yang halal. Bekerja merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan setiap orang. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam Firman Allah

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُوا۟ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعْمَلُوا۟ صَٰلِحًا ۖ إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 51).

Bekerja mempunyai tempat yang sangat mulia dan luhur yaitu digolongkan fi sabilillah, hal ini tercermin dari  sabda Rasulullah ﷺ, Ka’b bin ‘Ujrah z berkata, “Seorang laki-laki melewati Nabi  kemudian para sahabat melihat bagaimana kuat dan rajinnya laki-laki tersebut, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah , seandainya hal ini di jalan Allah.’ Rasulullah  bersabda, “Jika ia keluar bekerja untuk menghidupi anaknya yang masih kecil maka dia fi sabilillah (di jalan Allah), jika ia keluar bekerja untuk kedua orang tuanya yang telah lanjut usia maka fi sabilillah, jika ia keluar bekerja untuk menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta maka ia fi sabilillah dan jika ia keluar karena riya’ dan sombong maka ia di jalan setan.’” (H.R. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 19/129. Berkata al-Mundziri, “Rentetan perawi haditsnya shahih.” dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib: 1692)

Bekerja adalah suatu aksioma Ilahiyyah yang berlaku universal, pada kurun waktu kenabian dan awal kebangkitan Islam, sangat jelas terlihat bahwa penghargaan atas makna bekerja telah diterima oleh seluruh pengikut Rosul dengan sikap sami’na wa ato’na, sikap patuh tanpa reserve.

Dalam hadits disebutkan dari al-Miqdam z, bahwa Rasulullah   bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud  makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)” (H.R. Bukhari, no. 1966).

Penutup

Tujuan bekerja keras, bukanlah sekedar memenuhi naluri yakni hidup untuk kepentingan perut saja. Islam memberikan pengarahan kepada suatu tujuan filosofi yang luhur, tujuan yang mulia, tujuan yang ideal yang sempurna yaitu keimanan, berta’abbud, menghambakan diri untuk mencari keridaan Allah . Semua usaha seorang muslim yang bercorak duniawi maupun ukhrowi pada hakikatnya tertuju pada satu titik yaitu keridaan Allah  (mardhatillâh). 

Ibadah tidak hanya salat, puasa, zakat, haji akan tetapi ibadah dalam pengertian luas juga meliputi bidang  duniawi yang kesemuanya dilakukan dengan niat iman dan mencari keridaan Allah . Niat seorang muslim merupakan hal yang sangat penting, termasuk semua aktifitas yang dilakukannya. Niat merupakan tekat hati untuk melakukan suatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata karena Allah , sekaligus merupakan unsur yang sangat menentukan dalam keabsahan suatu ibadah. Wa Allâhu a’lam bi ash shawwâb.[] 

 

Referensi

Abdurrahman As-Sa’di. Taisir Al-Lathif Al-Mannan. h. 191. Dalam https://rumaysho.com/19982-kerja-dong-jangan-jadi-pengangguran.html. Diakses pada 4 Maret 2023 M.

Ahmad Janan Asifudin. Etos Kerja Islami. Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2004. 

Armansyah Walian. Konsep Islam tentang Kerja. An Nisa, Vol 8 No. 1 Juni 2013. 

Hamzah Ya’qub. Etos Kerja Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 2001. Cet. 3. 

Hasan Shadily, et.al. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project. tt. Jilid 3.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bekerja. Diakses pada 4 Maret 2023 M.

https://www.merdeka.com/jateng/tujuan-bekerja-dalam-islam-lengkap-beserta-hukumnya-kln.html. Diakses pada 4 Maret 2023 M.

Isma’il Al-Faruqi R., dkk. 1995. Academic Dissertations (3): Islamizations of Economics. USA: The International Institute of Islamic Thought.

Ismail Raji al Faruqy. Ab’adul ‘ibadat fil Islam, dalam jurnal al-muslim al-muasir al-Qahirah. No. 10, 1977.

Longman. Dictionary of Contemporary English. Great Britain: Longman Group U.K. Limited. 1989.

Musa Asy’arie. Islam: Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat. Yogyakarta: LESFI. Cet. 1.

Tim DPPAI. Ensiklopedi Dakwah. Yogyakarta: LPPAI UII. Cet. 1. 2004.

Toto Tasmara. Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: Jami’atul Ikhwan. 1993.