Pada zaman modern ini, bidang perekonomian utamanya di Indonesia sedang dalam fase yang cukup meningkat setelah pandemi yang melanda selama kurang lebih 3 tahun lamanya. Perekonomian yang paling mendominasi adalah berbisnis kebutuhan pokok atau sembako. Etika berbisnis dalam Islam sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam setiap transaksi, termasuk dalam perdagangan sembako dan hutang piutang. Menurut agama Islam, setiap manusia harus memiliki perilaku yang baik dalam melaksanakan berbagai urusan kehidupan, baik kewajiban terhadap Rabb-Nya maupun terhadap segala makhluk ciptaan-Nya. Perilaku atau etika dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam ibadah menyembah/menjalankan kewajiban kepada Allah (habluminAllah) maupun dalam hubungan kehidupan antar manusia (habluminannaas).

Perilaku berhubungan antar manusia khususnya dalam hal perdagangan agama Islam merupakan aspek kehidupan berdasarkan masalah muamalah, yaitu masalah yang berkenaan dengan hubungan horizontal namun sesuai dengan ajaran Islam tentunya mengacu kepada tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Hubungan tersebut tentunya memerlukan adanya etika yang berjalan dengan baik, etika bertransaksi dengan tidak mendzhalimi semua pihak. Selain dengan tujuan mendapatkan keuntungan dan keberkahan, etika berbisnis dalam Islam banyak memberikan solusi yang terbaik kepada semua pihak apabila terdapat perselisihan yang terjadi.

Pandangan Beragam dalam Masyarakat Mengenai Etika

Etika tersebut berupa contoh dari kegiatan pinjam meminjam atau bisa disebut pula hutang piutang. Hukum dasar Pinjam-Meminjam adalah boleh (Mubah). Hukum bagi orang yang meminjamkan adalah Mubah. Sedangkan mengembalikan utang (pinjaman) hukumnya adalah Wajib. Bila si peminjam (pengutang) tidak mampu untuk membayar (mengembalikan), maka ada tiga jalan yaitu perpanjangan waktu pengembalian, pemotongan/pengurangan besarnya pinjaman, atau memaafkan/mengikhlaskan sebagai sedekah. Menurut Agama Islam, orang yang memiliki hutang adalah orang yang kesusahan atau kesulitan namun Agama Islam memberikan solusi (jalan keluar) yaitu akan mendapatkan bagian zakat (sedekah) karena ia termasuk 8 Asnaf yang berhak menerima zakat (shodakoh), yaitu ia termasuk Al Ghorimin (orang yang terbelit utang).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika memiliki makna sebagai ilmu mengenai segala bentuk perbuatan yang bernilai baik maupun segala bentuk perbuatan yang bernilai buruk, serta mengenai hak dan kewajiban moral (akhlak). Pengertian etika dalam sumber lain yaitu oleh Supratman Syukur bahwa, etika dihubungkan dengan tiga perbedaan yang berarti merupakan pola umum atau jalan hidup, seperangkat aturan atau kode moral, dan penyelidikan tentang jalan hidup dan aturan-aturan perilaku, atau merupakan penyelidikan filosofis tentang hakikat dan dasar-dasar moral (Sari, 2017).[1] Berbeda pendapat dengan Griffin dan Ebert yang menyampaikan, bahwa pengertian etika yaitu keyakinan mengenai tindakan yang benar dan yang salah, atau tindakan yang baik dan yang buruk, yang mempengaruhi hal lainnya (Budiyanto, 2017).[2]

Bisnis dalam Perspektif Islam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bisnis memiliki makna usaha yang memberikan keuntungan atau bidang usaha atau usaha dagang. Pendapat lain oleh Mahmud Machfoedz menjelaskan bahwa, bisnis adalah usaha perdagangan oleh sekelompok orang yang terorganisasi untuk mendapatkan laba dengan memproduksi dan menjual barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Sogiri, 2019). Sedangkan Skinner berpendapat bahwa bisnis sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat (Riyadi, 2015).[3] Sedangkan etika dalam berbisnis merupakan seperangkat norma bisnis yang wajib dimiliki pelaku bisnis dengan rasa tanggung jawab atau komitmen yang tinggi dalam bertransaksi, berperilaku, dan juga berelasi dalam mencapai tujuan bisnis dengan baik. Etika bisnis dalam Islam dapat menjadi pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis yaitu refleksi mengenai perbuatan baik, buruk, terpuji, tercela, benar, salah, wajar, tidak wajar, pantas dari pelaku seseorang dalam berbisnis atau bekerja (Hulaimi, 2017).[4]

Adapun etika bisnis syariah adalah tatanan mengenai keseluruhan nilai dan norma yang digunakan dalam melaksanakan bisnis dengan berdasarkan ajaran agama Islam, yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ajaran agama Islam merupakan dasar utama bagi pelaku bisnis dalam melaksanakan tindakan bisnis yang dapat menjamin terlindungnya hak serta kepentingan setiap pelaku bisnis. Sumber utama etika bisnis; Al-Qur’an telah memberikan tuntutan konsep keadilan, perlindungan akan manusia, kebebasan yang bertanggung jawab dan lain sebagainya (Maulidya, Kosim, & Devi, 2019[5]; Wati, Arif, & Devi, 2022).[6] Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika bisnis syariah merupakan seluruh aturan dan ketentuan mengenai perilaku seseorang kepada orang lain dalam melaksanakan kegiatan bisnis yang berlandaskan sesuai dengan prinsip syariah dan nilai-nilai syariah, dengan bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umat.

Kebutuhan ekonomi berpengaruh besar terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Salah satu kebutuhan pokok manusia dalam kehidupan adalah kebutuhan pangan atau sembako. Kata sembako yang terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki makna sebagai sembilan bahan pokok (sembilan jenis makanan sebagai bahan kebutuhan pokok masyarakat, yang berdasarkan pada Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan pada 1998. Sembako adalah sembilan bahan pokok pangan yang merupakan kebutuhan pokok (Ayodya, 2016).[7] Secara umum, sembilan bahan pokok meliputi; beras, kedelai, jagung, gula, bawang merah, minyak goreng, daging beku dan daging segar, daging ayam ras, serta telur ayam ras (Tempo, 2019).[8] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sembilan bahan pokok merupakan kumpulan bahan-bahan pangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

Hutang Piutang dalam Islam

Perekonomian yang berjalan tentu tidak selalu mulus, terdapat kendala seperti hutang piutang. Dalam Islam utang dikenal dengan Qardh yang secara etimologi berasal dari kata al-qath’u yang berarti memotong. Harta yang diberikan kepada muqtaridh (orang yang berutang), sebab merupakan potongan dari harta muqridh (orang yang memberi utang). Qardh juga di definisikan sebagai harta yang diberikan pemberi pinjaman kepada penerima dengan syarat penerima pinjaman harus mengembalikan besarnya nilai pinjaman pada saat mampu mengembalikannya.

Menurut Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah Bank Indonesia, Qardh atau pinjaman adalah suatu akad pinjam meminjam dengan ketentuan pihak yang menerima pinjaman wajib mengembalikan dana sebesar yang diterima. Kata Qardh ini kemudian diadopsi menjadi credo (Romawi), credit (Inggris), dan kredit (Indonesia). Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pedagang sembako adalah seorang yang bekerja sebagai pedagang, yang memperjualbelikan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat terutama sembilan bahan pokok pangan, dan memiliki tujuan untuk memperoleh profit dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan biasanya berlokasi di sekitar pemukiman masyarakat.

Setiap manusia yang berbisnis wajib memiliki pengetahuan dan pemahaman terkait transaksi jual beli, agar bisnis yang dilakukan sesuai dengan aturan syariat islam, dan akan terhindar dari larangan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Setiap pedagang harus menerapkan dan berpegang teguh dengan nilai etika bisnis islam dalam transaksi jual beli. Etika berbisnis dalam Islam berupa norma yang mengatur tentang etika berbisnis yang sumbernya berasal dari Al-Qur’an dan Al- Hadits, dimana sumber ini diciptakan sebagai petunjuk oleh seseorang dalam berdagang. Etika berbisnis dalam Islam ini sangat diperlukan dalam kegiatan berbisnis mengingat banyak fakta yang terjadi akan bisnis yang semakin terjalinnya hubungan antar sesama manusia (habluminannaas) dengan baik hingga dapat tercapainya perdagangan sembako secara syariah, tidak menguntungkan sepihak (penjual), tidak merugikan pembeli dengan mengambil keuntungan yang tidak wajar untuk memperoleh hasil sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan kebarokahan rezeki. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an telah banyak ayat yang menjelaskan tentang rezeki diantaranya:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (Q.S Hud : 6)

“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. At-Talaq : 3)

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (Q.S. An-Najm : 39-41)

Dari ketiga kutipan ayat tersebut jelas bahwasanya rezeki itu datangnya dari Allah. Dan kita sebagai manusia hanya bisa berikhtiar dan berusaha meraih keberkahan atas rezeki dari-Nya. Saat ini dengan adanya telnologi informasi yang berkembang pesat memberikan dampak yang sangat signifikan akan kemajuan khususnya dalam hal perdagangan. Berbagai kemudahan akses mudah didapatkan, dalam hal ini banyak pedagang yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi tersebut bukan sebagai keterbukaan atau kejujuran dalam perdagangan akan tetapi memanfaatkannya dalam bentuk kecurangan.

Misalnya dengan memberikan promo-promo menarik melalui sosial media sebagai bentuk tipu-tipu dalam mempromosikan produk-produk dagangannya, dengan memberikan diskon tertentu terhadap produk tertentu dengan diharuskan membeli paket lainya yang harganya sudah dinaikkan untuk dapat mengambil promo tersebut. Hal tersebut banyak terjadi dalam perdagangan khususnya sembako. Para pedagang mengambil keuntungan sedikit bahkan bisa tidak mengambil keuntungan atas produk-produk promo, tetapi harus membeli produk lainya yang harga sudah dinaikkan, jadi sebenarnya keuntungan dari produk promo diambilkan dari produk barang lainnya, hal tersebut sebenarnya sudah dapat dikatakan menipu pembeli.

Dalam konsep Islam kegiatan hutang piutang boleh tanpa adanya tambahan, sedangkan dalam pelaksanaannya tergantung pada keadaan ekonomi yang bersangkutan, apakah yang bersangkutan sudah tepat melakukannya atau belum. Memberikan hutang atau pinjaman adalah perbuatan yang baik, karena merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang terdapat unsur tolong menolong sesama manusia sebagai makhluk sosial. Mengkaji hal hutang piutang dalam Islam disebut dengan qardh merupakan upaya memberikan pinjaman mengembalikan gantinya. Hutang piutang merupakan hal yang sudah biasa dalam kehidupan ini untuk memenuhi kebutuhan karena ekonomi yang rendah. Pada dasarnya hutang piutang merupakan perbuatan hanya untuk tolong menolong kepada yang membutuhkan dan hanya untuk membantu meringankan atas kebutuhannya bukan untuk memberatkan seseorang atas pinjamannya karena adanya tambahan. Islam mengatur kegiatan muamalah dengan baik yang tertulis di dalam Al-Quran. Salah satunya yaitu tentang utang piutang, sebagaimana dalam firman Allah SWT adalah sebagai berikut:

“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah Maha pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (Q.S. At-Taghaabun : 17)

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 280)

Hukum menunda pembayaran utang dapat di bagi menjadi 2, yaitu:

  1. Hukum menunda pembayaran hutang adalah haram, jika orang yang berhutang tersebut telah mampu membayar hutang dan tidak memiliki uzur yang agama benarkan setelah orang yang memberikan utang memintanya atau setelah jatuh tempo. Dalilnya adalah sabda Rasulullah yang artinya: “Penundaan (Pembayaran hutang) oleh orang yang kaya (mampu) merupakan penganiayaan, dan apabila salah seorang di antara kamu (utangnya) dialihkan kepada orang yang kaya (mampu) maka hendaklah ia menerimanya”. (HR. Abu Dawud)
  2. Hukum menunda pembayaran hutang adalah mubah, apabila orang yang berhutang memang benar-benar belum mampu membayarnya atau ia telah mampu membayarnya namun masih berhalangan untuk membayarnya, misal uang yang ia miliki belum berada ditangannya atau alasan-alasan lain yang agama benarkan.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT, setelah menuliskan beberapa kajian mengenai etika berbisnis dalam Islam bahwa terdapat keselarasan dalam bisnis perdagangan sembako yang syariah dengan berdagang secara ikhlas, jujur, amanah, adil, bekerja keras, kerjasama, murah hati, sederhana, bersaing secara sehat, serta menjual produk yang halal dan berkualitas baik. Bagaimana penerapan hal ini dalam perdagangan sembako secara syariah, khususnya bagi para pedagang muslim. Transaksi jual beli berupa diskon merupakan kegiatan strategi pemasaran dalam berbisnis dan hutang piutang adalah kegiatan orang yang meminjamkan atau memberi hutang dengan orang yang meminjam atau berhutang dengan kesepakatan atau ijab qabul dan barang atau uang terhutang.

 

Sumber Referensi:

[1] Sari, I. (2017). Penerapan Etika Bisnis Bagi Pedagang Muslim Dalam Persaingan Usaha (Studi Kasus Pasar Butung Makassar).UIN Alauddin Makassar.

[2] Budianto, A., Pongtuluran, Y., & Syaharuddin Y. (2017). Pengaruh Etika Kerja dan Kompensasi Finansial Terhadap Kinerja Karyawan.Jurnal Ekonomi dan Manajemen Volume 14 Nomor 1.Universitas Mulawarman Samarinda.

[3] Riyadi, Fuad. (2015).Urgensi Manajemen Dalam Bisnis Islam.Jurnal Bisnis Volume 3 Nomor 1 STAIN Kudus.

[4] Hulaimi, A., Sahri., & Huzaini, M. (2017). Etika Bisnis Islam dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Pedagang Sapi.Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang Volume 2 Nomor 1.

[5] Maulidya, R. N., Kosim, A. M., & Devi, A. (2019). Pengaruh Etika Bisnis Islam Dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Dan Loyalitas Pelanggan Hotel Syariah Di Bogor. Al-Amwal: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, 11(2), 221-240.

[6] Wati, D., Arif, S., & Devi, A. (2022). Analisis Penerapan Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam Dalam Transaksi Jual Beli Online di Humaira Shop. El-Mal: Jurnal Kajian Ekonomi & Bisnis Islam, 3(1), 141-154.

[7] Ayodya, W. (2016).14 Hari Langsung Mulai Jadi Pengusaha.Elex Media Komputerindo dari https://books.google.com/books/about/14_Hari_Langsung_Mulai_Jadi_Pengusaha_Ne.html?hl=id&id=PYpKDwAAQBAJ (diakses pada 11 November 2019).

[8] Pemerintah Terbitkan Harga Acuan Sembilan Bahan Pokok. Koran Tempo. 2019. Akses pada 31 Oktober 2019 dari https://bisnis.tempo.co/read/879913/pemerintah-terbitkan-harga-acuan-sembilan-bahan-pokok

(Q.S. Hud [11]: 6)

(Q.S. At-Talaq [65]: 3)

(Q.S. An-Najm [53]: 39-41)

(Q.S. At-Taghaabun [64]: 17)

(Q.S. Al-Baqarah [2]: 280)

 

Baca Artikel lain kami:

 

Ikuti kami di media sosial : Youtube Instagram

Loading

Orang tua dari anak-anak Gen Z biasanya rata-rata dari generasi X, yang sering merasa kaget dengan cepatnya perubahan teknologi. Sebagai orang tua bijak di era digital, kita perlu mengetahui cara mendampingi anak-anak Gen Z yang tumbuh dalam dunia yang serba terhubung. Namun, dunia yang kita kenal sangat berbeda dengan dunia anak-anak kita sekarang yang serba digital, dengan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik. Lalu, bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang bijak di era digital ini?

1. Menerima Teknologi dengan Bijak

Kita perlu belajar menggunakan teknologi dengan bijak. Gen Z tumbuh di dunia digital, jadi kita harus menunjukkan bagaimana menggunakan teknologi secara sehat. Mengatur waktu penggunaan dan menjaga privasi online adalah contoh yang baik. Ini juga dapat menghindari kecanduan dan membantu menjaga hubungan sosial yang lebih sehat.

Menurut Dr. Sherry Turkle, teknologi bisa meningkatkan keterhubungan, tetapi bila tidak digunakan dengan bijak, bisa mengurangi kualitas hubungan interpersonal dan menghambat perkembangan empati.

2. Berkomunikasi Terbuka dan Efektif

Gen Z lebih terbuka dalam berbicara tentang perasaan mereka. Kita perlu memberi ruang bagi komunikasi terbuka tanpa penilaian. Gunakan teknologi seperti pesan teks atau video call untuk tetap terhubung dan mendengarkan mereka dengan baik.

Psikolog John Gottman menekankan pentingnya komunikasi empatik dalam membangun hubungan keluarga yang sehat, termasuk mendengarkan tanpa menghakimi.

Menjadi Orang Tua yang Bijak di Era Digital - Image - 1

Anak yang Berbakti, Tercipta dari Orang Tua yang Mendukungnya

3. Mendukung Kemandirian dan Kreativitas

Gen Z sangat kreatif dan mandiri, sering mengeksplorasi minat mereka melalui teknologi. Kita sebagai orang tua perlu mendukung mereka untuk terus belajar hal baru dan mengasah keterampilan, baik melalui teknologi maupun seni.

Hadis Rasulullah SAW, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim” (HR. Ibn Majah no. 224), mengingatkan kita untuk mendukung anak-anak dalam mengeksplorasi dan mengembangkan minat mereka.

4. Kesadaran Kesehatan Mental dan Bersosial

Gen Z lebih terbuka membicarakan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan stres. Sebagai orang tua, kita harus peka terhadap perasaan mereka dan mendukung mereka dalam mengelola tekanan. Penting juga untuk mengajarkan mereka tentang keseimbangan antara dunia online dan sosial langsung.

Allah berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286). Ini mengingatkan kita bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan, dan kita harus mendukung mereka untuk mengelola tekanan hidup dengan bijak.

 

Menjadi orang tua di era digital bukanlah hal yang mudah, tetapi dengan pemahaman yang tepat tentang teknologi, komunikasi yang terbuka, dan pendekatan yang mendukung kemandirian, kita dapat membantu anak-anak kita berkembang dengan baik di tengah perubahan zaman. Mari kita manfaatkan keahlian kita sebagai orang tua generasi X untuk memberi mereka kesempatan terbaik di dunia yang penuh tantangan ini.

Oleh: Hafiyyan FS (hasil diskusi dengan rekan yang berperan sebagai orang tua dan generasi X)

 

Baca artikel lain kami:

 

Ikuti kami di media sosial : Youtube Instagram

Loading

Dalam kehidupan modern, terutama di lingkungan kerja, kinerja seseorang sering kali bergantung pada kondisi fisik dan mental yang prima. Namun, tidak jarang kita temui orang-orang yang datang tepat waktu tetapi tampak lesu, seolah belum siap untuk menjalani hari. Kondisi ini tidak hanya mencerminkan kesehatan fisik dan mental yang terabaikan, tetapi juga kurangnya kesadaran rohani untuk mensyukuri nikmat Allah, termasuk nikmat bangun pagi.

Ibadah shubuh, sebagai salah satu langkah awal, dapat menjadi kunci untuk meningkatkan kinerja. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS. Al-Ankabut: 45). Melaksanakan shalat shubuh bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga langkah awal untuk mensyukuri nikmat pagi hari, menjaga kesehatan mental, dan mempersiapkan tubuh agar siap beraktivitas. Dengan kombinasi kesehatan jasmani dan rohani, kinerja kita dapat meningkat secara signifikan.

 

Hubungan Kesehatan Jasmani dan Rohani dengan Produktivitas Kinerja

1. Pentingnya Kesehatan Jasmani untuk Kinerja

Kesehatan fisik adalah fondasi produktivitas. Penelitian menunjukkan bahwa olahraga ringan di pagi hari, seperti berjalan kaki atau peregangan, dapat meningkatkan aliran darah ke otak, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan konsentrasi. Bagi usia di atas 40 tahun, aktivitas fisik juga membantu menjaga kesehatan jantung, mengurangi risiko penyakit kronis, dan memperbaiki kualitas tidur.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya terdapat kebaikan.” (HR. Muslim). Hadis ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga tubuh agar tetap sehat dan kuat untuk melaksanakan tugas duniawi maupun ibadah.

2. Pentingnya Kesehatan Rohani untuk Kinerja

Rohani yang sehat memberikan ketenangan hati, yang berimbas pada kestabilan emosi dan kesehatan mental. Shalat shubuh, sebagai bentuk penghambaan kepada Allah, membawa ketenangan batin dan menjauhkan kita dari kecemasan. Dalam QS. Ar-Ra’d ayat 28, Allah berfirman: “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Melalui ibadah yang konsisten, kita diajarkan untuk menghadapi tantangan hidup dengan pikiran yang jernih. Selain itu, beribadah di awal hari juga memotivasi kita untuk menjalani aktivitas dengan semangat, mengutamakan efisiensi, dan menjaga harmoni di tempat kerja.

3. Sinergi antara Kesehatan Jasmani dan Rohani untuk Kinerja Optimal

Keseimbangan antara jasmani dan rohani adalah kunci produktivitas. Orang yang menjaga kesehatan tubuhnya melalui olahraga dan pola makan sehat cenderung memiliki energi yang lebih besar untuk beribadah. Sebaliknya, rohani yang terjaga memotivasi seseorang untuk menjaga tubuhnya sebagai bentuk amanah dari Allah. Dengan menjaga keduanya, seseorang mampu bekerja lebih optimal, berinteraksi dengan orang lain secara positif, dan menghadapi stres dengan lebih baik.

Langkah-Langkah Praktis untuk Meningkatkan Kesehatan Jasmani dan Rohani

a. Memulai Hari dengan Shalat Shubuh : Jadikan shalat shubuh sebagai momentum untuk mensyukuri nikmat Allah dan memulai hari dengan energi positif.
b. Olahraga Ringan di Pagi Hari : Lakukan aktivitas seperti berjalan kaki, peregangan, atau senam ringan selama 15-30 menit.
c. Mengonsumsi Makanan Bergizi : Pilih makanan yang kaya serat, protein, dan rendah gula untuk menjaga energi sepanjang hari.
d. Mengelola Stres : Lakukan relaksasi, dzikir, atau membaca Al-Qur’an untuk menjaga ketenangan hati.
e. Konsisten dalam Ibadah : Selain shalat wajib, tambahkan ibadah sunnah seperti tahajud dan dzikir pagi untuk mendekatkan diri pada Allah.

 

Menuju Hidup yang Lebih Seimbang dan Bermakna

Kesehatan jasmani dan rohani adalah kunci untuk mencapai kinerja yang unggul. Dengan menjaga keseimbangan keduanya, kita tidak hanya meningkatkan produktivitas tetapi juga mendapatkan keberkahan hidup. Awali hari dengan ibadah, syukuri nikmat Allah, dan rawat tubuh sebagai amanah.

Semangat untuk terus memperbaiki diri, karena setiap upaya kita adalah bagian dari ibadah kepada Allah SWT. “Dan katakanlah (Muhammad), ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu.'” (QS. At-Taubah: 105).

 

Baca artikel lain kami:

 

Ikuti kami di media sosial : Youtube Instagram

Loading

The butterfly effect merupakan istilah metafora jika diterjemahkan adalah efek kepakan sayap kupu-kupu. The butterfly effect pertama kali diperkenalkan oleh Edward Norton Lorenz pada 1961, seorang peneliti bidang meteorologi. Melalui sebuah metafora, Ia mengemukakan bahwa seluruh kejadian dalam kehidupan kita pada dasarnya merupakan rangkaian dari kejadian yang acak atau random.  Dilansir dari buku “The Essence of Chaos” (1993), Lorenz pertama kali mengemukakan teori tersebut berawal saat Ia melakukan simulasi program di komputer untuk memprediksi cuaca. Ia memasukan angka faktor dengan desimal kecil 0,506127 untuk mendapatkan presisi perkiraan cuaca. Lorenz mendapati angka desimal tersebut setara dengan kepakan sayap kupu-kupu. Lorenz terhenyak saat mengetahui gambaran satu kepakan sayap kupu-kupu dapat menghasilkan efek tornado yang besar, inilah yang disebut dengan teori The butterfly effect. Berdasarkan teori tersebut, secara sederhana butterfly effect adalah perubahan kecil yang memberikan dampak besar dalam jangka panjang untuk suatu peristiwa atau kejadian di alam semesta atau di kehidupan setiap manusia..

Sebagai seorang Muslim, kita meyakini sepenuhnya bahwa setiap peristiwa dalam kehidupan adalah ketentuan dari Allah yang pasti terjadi. Tidak ada satu pun yang luput dari kehendak-Nya. Semua kejadian berlangsung dalam pengaturan sempurna oleh Allah Al-Muhaimin, Sang Maha Pengatur. Alam semesta ini bergerak dengan keteraturan yang luar biasa, seperti tata surya, di mana matahari, bumi, dan bulan berputar sesuai ritme masing-masing. Semuanya mengikuti irama yang telah ditetapkan oleh Allah. Namun, sebagai manusia, kita sering kali tidak mampu memahami ritme tersebut, sehingga berbagai kejadian tampak acak di mata kita. Setiap individu memiliki kemampuan untuk mengambil langkah kecil menuju perubahan yang lebih baik, dan langkah tersebut dapat membawa pengaruh positif yang signifikan bagi lingkungan sekitarnya.

Meskipun kita meyakini adanya keteraturan dalam kehendak Allah terhadap alam semesta dan pola kehidupan setiap makhluk, namun ada penjelasan logis yang bisa dipelajari dari teori butterfly effect. Karena keterbatasan pengetahuan manusia, skenario besar yang Allah atur di alam semesta seringkali terlihat acak di mata kita. Baru setelah peristiwa terjadi, kita mulai menyadari keterkaitan dan hikmah di baliknya. Hal-hal yang belum terjadi tetaplah menjadi rahasia bagi manusia, dan tidak dapat seorangpun bisa memastikannya. Dalam kehidupan sehari-hari penulis pernah merasakan butterfly effect. Sesaat setelah menamatkan  perkuliahan dan tengah mencari pekerjaan, penulis merasakan banyak faktor yang mempengaruhi diterima atau ditolak suatu lamaran pekerjaan, faktor tersebut tampak random dan tidak bisa diprediksi. Banyak terbesit pertanyaan apakah nanti akan bekerja sesuai jurusan kuliah atau berbeda sama sekali dengan ilmu yang ditekuninya. Namun, seiring waktu, penulis menyadari bahwa keputusan-keputusan kecil yang diambil selama proses tersebut, seperti memilih untuk menghadiri seminar tertentu, mengikuti pelatihan tambahan, atau bahkan berbincang dengan seseorang yang tidak dikenal di sebuah acara, ternyata memberikan dampak besar terhadap perjalanan karier. Langkah-langkah kecil tersebut, meskipun tampak sepele namun bisa membawa penulis pada kesempatan-kesempatan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, hingga akhirnya mendapatkan pekerjaan yang tidak hanya sesuai dengan minat, tetapi juga memberikan ruang untuk berkembang lebih jauh.

Ketidaksengajaan kecil yang dialami seseorang bisa menjadi titik awal perubahan besar dalam hidupnya di kemudian hari. Sebuah ajakan sederhana dari teman, yang awalnya dianggap iseng, mungkin saja menjadi jalan menuju perubahan nasib. Bahkan, sebuah pertemuan singkat dengan seseorang di kereta api atau pesawat bisa membuka peluang besar yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bagi manusia, semua peristiwa ini tampak acak dan tanpa pola. Namun, di sisi Allah, segala sesuatu telah diatur dengan sempurna sesuai dengan kehendak-Nya, mengajarkan kita untuk percaya bahwa tidak ada yang terjadi tanpa tujuan dan hikmah yang mendalam. Untuk itu, yang sebenarnya dibutuhkan oleh setiap individu adalah mengambil langkah kecil layaknya kepakan sayap kupu-kupu yang diarahkan pada hal-hal positif. Lebih dari itu, kita juga dapat berkontribusi dalam kehidupan orang lain melalui usaha-usaha sederhana yang memberikan dampak besar. Dengan satu tindakan kecil yang dan diiringi niat baik, kita tidak hanya dapat mengubah kehidupan seseorang, tetapi juga menciptakan gelombang kebaikan yang terus meluas. Setiap langkah positif yang kita ambil memiliki potensi untuk menjadi inspirasi, membuka peluang baru, dan membawa manfaat jangka panjang bagi orang-orang di sekitar kita.

Kita semua memahami pentingnya makna silaturahmi dalam kehidupan sehari-hari. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sendiri mengarahkan kita untuk memperbanyak silaturahmi. Diriwayatkan dari Ibnu Sihab telah menginformasikan padaku Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan sisa umurnya, maka sambunglah tali kerabatnya (HR. Bukhari). Butterfly effect dapat terjadi ketika kita banyak melakukan silaturahmi. Dalam kehidupan sosial, dimana setiap tindakan kecil, seperti saling menyapa atau berbagi cerita, dapat membawa dampak besar yang tak terduga di masa depan. Sebuah senyuman tulus yang diberikan hari ini mungkin menginspirasi orang lain untuk melakukan hal baik, menciptakan rantai kebaikan yang meluas jauh melampaui lingkaran terdekat kita. Dalam silaturahmi, kekuatan kecil dari komunikasi dan kehangatan hati bisa menjadi awal dari perubahan besar, mempererat persaudaraan, membuka pintu rezeki, dan bahkan menyelesaikan konflik yang sulit terpecahkan. Bisa jadi karena suatu silaturahmi, seseorang bisa mendapatkan pekerjaan yang melampaui impiannya. Bisa jadi karena suatu silaturahmi, seseorang bisa mendapatkan proyek bernilai tinggi. Seseorang bisa sembuh dari berbagai penyakit yang diderita juga bisa karena bersilaturahmi. Usaha silaturahmi tidak lebih dari satu kepakan sayap kupu-kupu, namun dampaknya bisa besar dan mengubah hidup seseorang. 

Mengutip dari Surat Ar-Rahman ayat 60 berikut 

هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَانُۚ

Artinya : “Adakah balasan kebaikan selain kebaikan pula ? (Q.S. Ar-Rahman:60)

Demikian Allah mengajarkan kepada kita, untuk terus mengepakan sayap kebaikan, pasti Allah akan membalas pula dengan kebaikan. Karena itu, setiap langkah kebaikan yang kita upayakan, sekecil apa pun, akan selalu bernilai di sisi-Nya. Allah tidak pernah membiarkan usaha hamba-Nya berlalu tanpa arti, karena janji-Nya untuk membalas kebaikan dengan kebaikan adalah kepastian. Maka, teruslah menebar manfaat dan menjaga silaturahmi, sebab setiap kebaikan yang kita lakukan akan kembali kepada kita dengan cara yang sering kali tak terduga.

Butterfly Effect menggambarkan bagaimana sebuah tindakan kecil dapat memengaruhi sesuatu secara signifikan, menciptakan dampak besar yang sulit diprediksi. Keputusan kecil pun dapat berdampak besar misalnya, keputusan sederhana seperti bangun lebih pagi dari biasanya dapat membawa perubahan besar. Dengan waktu ekstra, kita bisa menikmati sarapan yang memberi energi, meningkatkan fokus dan semangat sepanjang hari. Pekerjaan yang terselesaikan dengan baik membuat atasan puas, hingga akhirnya memutuskan untuk memberikan promosi. Dampaknya, karier pun berkembang, penghasilan meningkat, dan ekonomi keluarga menjadi lebih stabil. Kebutuhan anak-anak terpenuhi dengan baik, sehingga tercipta kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup secara keseluruhan. Dalam dunia kerja, butterfly effect tercermin dari bagaimana tindakan kecil dapat menciptakan dampak besar bagi organisasi. Sebuah ucapan terima kasih kepada rekan kerja, misalnya, dapat meningkatkan semangat tim, mendorong produktivitas, dan menciptakan suasana kerja yang lebih harmonis. Sebaliknya, kelalaian dalam menyelesaikan tugas kecil bisa mempengaruhi jalannya proyek besar, bahkan merugikan perusahaan. 

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kekuatan kepada kita untuk memupuk sendi-sendi kebaikan agar mampu mengambil langkah kecil yang dapat memberikan dampak besar kepada orang dan lingkungan di sekitar. Jangan pernah berhenti mengepakan sayap kebaikan. Karena kita tidak tahu kepakan sayap mana yang akan menjadi penolong kita di kehidupan kelak. Karena kita tidak tahu kepakan sayap mana yang akan membukakan pintu rejeki kepada kita. Maka, kepakkanlah sayap kebaikanmu hingga timbul esensi kehidupan.

“Di dalam teori Butterfly Effect setiap dari kita ibarat kupu-kupu, dimana setiap langkah kecil yang kita ambil menuju pola pikir yang lebih positif dapat menciptakan dampak besar berupa nuansa positif yang dirasakan oleh organisasi, keluarga, dan komunitas di sekitar kita.”

 

Baca artikel terkait kami:

Ikut kami di media sosial : Youtube Instagram

Loading

Makna hidup dalam Islam memiliki jawaban yang mendalam dan penuh hikmah, membantu setiap manusia memahami tujuan penciptaan serta menjalani kehidupan dengan lebih bermakna. Melalui video ini, kita akan mengeksplorasi makna hidup menurut Al-Qur’an dan Sunnah, serta bagaimana memahami tujuan penciptaan kita dapat membawa ketenangan hati.

 

 

Ingin mengetahui lebih banyak tentang panduan hidup Islami? Cek konten terbaru kami untuk artikel inspiratif lainnya dan jangan lewatkan konten terbaru kami di HRDUII!

 

Baca artikel terkait kami:

 

Ikuti kami di media sosial : Youtube Instagram

Loading

Puasa Sunnah merupakan amal ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan. Selain karena keutamaan pahala dan surga-Nya, ada juga keutamaan pada sisi kesehatannya. Puasa ini bukan sekadar menahan diri dari lapar dan dahaga, tetapi juga menjadi bentuk latihan diri untuk disiplin, sabar, dan meningkatkan kepekaan sosial terhadap sesama. Puasa sunnah menjadi ibadah tambahan yang dapat membantu mencapai keseimbangan fisik dan mental, serta memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Dua puasa sunnah yang dianjurkan adalah puasa Senin-Kamis dan ayyamul bidh.

 

Keutamaan Puasa Ayyamul Bidh

Puasa ayyamul bidh merupakan puasa yang dilaksanakan pada hari-hari pertengahan bulan Hijriah, yaitu tanggal 13, 14, dan 15. Dalil yang lebih kuat menyebutkan pelaksanaan puasa ayyamul bidh sebagai berikut:

Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” [1]

Dari Ibnu Milhan Al Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ . وَقَالَ هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ
“Rasulullah ﷺ biasa memerintahkan kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” [2]

Dalil Puasa Tiga Hari

Namun, ada juga dalil yang menguatkan puasa tiga hari dalam sebulan tanpa terbatas di pertengahan bulan. Salah satu hadits yang membicarakan hal ini adalah:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (Rasulullah ﷺ) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: 1- berpuasa tiga hari setiap bulannya, 2- mengerjakan shalat Dhuha, 3- mengerjakan shalat witir sebelum tidur.” [3]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

“Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” [4]

Dari Mu’adzah Al-‘Adawiyyah, ia pernah bertanya kepada Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَتْ نَعَمْ. فَقُلْتُ لَهَا مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ لَمْ يَكُنْ يُبَالِى مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ
“Apakah Rasulullah ﷺ biasa melaksanakan puasa tiga hari setiap bulannya?” Aisyah menjawab, “Iya.” Ia pun bertanya, “Pada hari apa beliau berpuasa?” Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperhatikan pada hari apa beliau berpuasa dalam sebulan”[5].

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa puasa pada ayyamul bidh lebih utama jika ada kemudahan untuk mengerjakannya. Namun, jika sulit, cukup berpuasa tiga hari pada hari mana saja yang disuka.

 

Manfaat Puasa Sunnah bagi Kesehatan

Puasa sunnah memiliki banyak manfaat, tidak hanya dalam aspek spiritual tetapi juga untuk kesehatan. Selain itu, puasa memberikan jeda bagi sistem pencernaan, memungkinkan tubuh memperbaiki sel-sel dan mengeluarkan racun. Proses detoksifikasi alami ini mirip dengan efek olahraga, yang meningkatkan sirkulasi darah dan memperbaiki metabolisme.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Perut itu tempat bermula penyakit dan berpuasa adalah obatnya.” [6]. Hadits ini mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan melalui pengaturan makan. Dengan demikian, puasa memiliki efek penyembuhan yang membantu menjaga keseimbangan kesehatan tubuh.

 

Efek Mental dan Emosional Puasa

Selain manfaat fisik, puasa juga mendatangkan keseimbangan mental dan emosional. Mirip dengan efek olahraga yang merangsang hormon endorfin, puasa melatih disiplin, kesabaran, dan pengendalian diri. Sebagai hasilnya, puasa mendukung ketenangan dan kesejahteraan batin. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:
وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [7]

 

Penutup

Puasa sunnah adalah alat kesehatan yang sejalan dengan prinsip olahraga. Oleh karena itu, dengan menggabungkan puasa sebagai ibadah dan olahraga sebagai kebiasaan fisik, seseorang dapat meraih kesehatan tubuh, ketenangan pikiran, dan kedekatan spiritual secara optimal.

 

Sumber
[1] HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasa’i no. 2425. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa haditsnya hasan. (1)
[2] HR. Abu Daud no. 2449 dan An Nasa’i no. 2434. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. (1)
[3] HR. Bukhari no. 1178 (2)
[4] HR. Bukhari no. 1979 (2)
[5] HR. Muslim, no. 1160
[6] HR. Ibnu Majah
[7] QS. Al-Baqarah: 184 (3)

Laman web referensi:
(1) Muslim.or.id – Dalil Puasa Ayyamul Bidh
(2) Rumaysho – Amalan Ringan #10 : Puasa Tiga Hari
(3) Ilmu Syariah Doktoral UIN Suka – K3 Puasa: Kesehatan, Keselamatan, dan Kesiapsiagaan

Baca artikel terkait kami:

Loading

Oleh Putut Sutarwan

Makna Bekerja

Dalam al-Qur’an kata “kerja” digunakan beberapa istilah: ‘amal (kerja), kasb (pendapatan), sakhkhara (untuk mempekerjakan atau mengguna), ajr (upah atau penghargaan), ibtigha’a fadl Allah (mencari keutamaan Allah ﷻ). Bekerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia melakukan suatu pekerjaan (perbuatan); berbuat sesuatu. Dalam kamus lain menyebutkan, bekerja ialah aktivitas yang merupakan usaha badan atau usaha akal yang digunakan untuk menghasilkan sesuatu, lebih dari sekedar hiburan. Dalam Ensiklopedi Indonesia bekerja diartikan sebagai pengerahan tenaga baik pekerjaan jasmani maupun rohani yang dilakukan untuk menyelenggarakan proses produksi. Jadi bekerja berarti aktivitas bertujuan memperoleh hasil, mencakup kerja lahir dan batin.

Bekerja dalam pandangan Islam merupakan kerja lahir yang merupakan aktivitas fisik dan juga kerja batin dalam hal ini kerja otak dan kerja hati (qalb). Bekerja merupakan salah satu amal saleh yang menjadi kewajiban setiap umat Islam. Tentunya, Islam menganjurkan dan mewajibkan manusia untuk bekerja dan mencari rezeki yang halal dan baik. Bekerja dalam Islam merupakan usaha yang dilakukan dengan serius dengan cara mengerahkan semua tenaga dan pikiran.

Bekerja dalam Prespektif

Islam bukan hanya agama langit, tetapi sekaligus agama yang dapat membumi, oleh karenanya Islam memandang bekerja sebagai fitrah. Manusia adalah makhluk yang bekerja (homo faber), bahkan manusia tidak akan mendapatkan suatu apa pun kecuali apa yang diusahakannya. Sehingga tidak mengherankan jika sering didengar bahwa masuk surga atau neraka sangat ditentukan oleh perbuatan seseorang, atau usahanya ketika hidup di dunia. Perlu ditekankan supaya manusia bekerja atau berusaha untuk kebaikan serta dengan cara yang baik, sebab orang yang beriman dan bekerja dengan baik maka Allah ﷻ akan memberi kehidupan yang baik pula. 

Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah ﷻ (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56). Salah bentuk ibadah yang bersifat umum adalah bekerja. Tidak ada kesuksesan, kebaikan, manfaat atau perubahan dari keadaan buruk menjadi lebih baik kecuali dengan kerja menurut bidang masing-masing. Melalui kerja manusia menyatakan eksistensi dirinya dalam kehidupan bermasyarakat, karena bekerja pada dasarnya merupakan realitas fundamental bagi manusia dan karenanya menjadi hakikat kodrat yang selalu terbawa dalam setiap jenjang perkembangan kemanusiaannya, sebab dengan kerja manusia dapat melaksanakan pembangunan perekonomian masyarakat dan sekaligus sebagai cermin pelaksanaan perintah agama.  

Allah ﷻ berfirman,

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Q.S. Al-Qashshash [28]: 26).

Dari ayat ini, terdapat kata Al-Qawiy dan Al-Amîn yang dijadikan landasan bagi orang yang berkerja (pada kita). Al-Qawiy, yaitu memiliki kapabilitas (kompentesi yang baik) dan pandai untuk menjaga amanat, dan juga melakukan hal-hal yang mendukung sehingga pekerjaan bisa sempurna.  Al-Amîn, yaitu tahu akan kewajiban sebagai orang yang diserahi amanat.

Dari Abu Abdillah Zubair bin Awwam, ia berkata Rasulullah bersabda, 

ﻷَﻥْ ﻳَﺄْﺧُﺬَ اَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺍَﺣْﺒُﻠَﻪُ ﺛُﻢَّ ﻳَﺎْﺗِﻰ ﺍﻟْﺠَﺒَﻞَ ﻓَﻴَﺎْﺗِﻰَ ﺑِﺤُﺰْﻣَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺣَﻄَﺐٍ ﻋَﻠَﻰ ﻇَﻬْﺮِﺥِ ﻓَﻴَﺒِﻴْﻌَﻬَﺎ ﻓَﻴَﻜُﻒَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺧَﻴْﺮٌﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺍَﻥْ ﻳَﺴْﺄَﻝَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺍَﻋْﻄَﻮْﻩُ ﺍَﻭْ ﻣَﻨَﻌُﻮْﻩُ  .

Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak”. (H.R. Bukhari, no. 2073). 

Dari sini jelaslah bahwa tidak ada alasan seorang muslim menganggur, apalagi menjadi jumud yang kehilangan semangat inovatif. 

Disebutkan dalam dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. (H.R. Muslim, no. 2664).

Bekerja Bagian dari Iman

Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai ‘abdullah (hamba Allah). Bekerja dan kesadaran bekerja mempunyai dua dimensi yang berbeda menurut takaran seorang muslim, yaitu bahwa makna dan hakikat bekerja adalah fitrah manusia yang sudah seharusnya demikian (conditio sine quanon). Sedangkan kesadaran bekerja akan melahirkan suatu improvements untuk meraih nilai-nilai yang bermakna, dia mampu menuangkan idenya dalam bentuk perencanaan, tindakan, serta melakukan penilaian dan analisa tentang sebab dan akibat dari aktifitas yang dilakukannya (managerial aspect). 

Dengan cara pandang seperti ini, setiap muslim tidak akan bekerja hanya sekedar bekerja; asal mendapat gaji, dapat surat pengangkatan, tunjangan, akan tetapi kesadaran bekerja secara produktif dengan dilandasi tauhid dan tanggung jawab Uluhiyah merupakan salah satu ciri yang khas dari karakter kepribadian seorang muslim.

Allah berfirman, 

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Q.S. al Insyirah [94]: 7). 

Dalam ayat ini terkandung amar (perintah) yang berarti bahwa hal itu wajib dilaksanakan, artinya siapapun yang hanya berdiam diri dan pasif tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah mengabaikan perintah Allah . Allah memberikan gelar kepada manusia sebagai khaira Ummah (the best society), gelar itu tidak akan berarti apabila tidak ada semangat bekerja, serta usaha untuk menanamkan ideologi bahwa bekerja, berkreasi, dan berinovasi adalah indah. Sebaliknya, pribadi yang malas dan bermental pengemis hanyalah akan mengorbankan masyarakat dan bahkan generasi yang terjajah dan terbelenggu, tak punya wibawa, wujuduhu kaadamihi (ada dan tiadanya sama saja).

Dalam Islam, rezeki memang menjadi urusan Allah dan sebagai hamba-Nya, manusia diwajibkan untuk selalu berusaha sekuat tenaga untuk mencari rezeki yang halal. Bekerja merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan setiap orang. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam Firman Allah

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُوا۟ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعْمَلُوا۟ صَٰلِحًا ۖ إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 51).

Bekerja mempunyai tempat yang sangat mulia dan luhur yaitu digolongkan fi sabilillah, hal ini tercermin dari  sabda Rasulullah ﷺ, Ka’b bin ‘Ujrah z berkata, “Seorang laki-laki melewati Nabi  kemudian para sahabat melihat bagaimana kuat dan rajinnya laki-laki tersebut, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah , seandainya hal ini di jalan Allah.’ Rasulullah  bersabda, “Jika ia keluar bekerja untuk menghidupi anaknya yang masih kecil maka dia fi sabilillah (di jalan Allah), jika ia keluar bekerja untuk kedua orang tuanya yang telah lanjut usia maka fi sabilillah, jika ia keluar bekerja untuk menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta maka ia fi sabilillah dan jika ia keluar karena riya’ dan sombong maka ia di jalan setan.’” (H.R. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 19/129. Berkata al-Mundziri, “Rentetan perawi haditsnya shahih.” dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib: 1692)

Bekerja adalah suatu aksioma Ilahiyyah yang berlaku universal, pada kurun waktu kenabian dan awal kebangkitan Islam, sangat jelas terlihat bahwa penghargaan atas makna bekerja telah diterima oleh seluruh pengikut Rosul dengan sikap sami’na wa ato’na, sikap patuh tanpa reserve.

Dalam hadits disebutkan dari al-Miqdam z, bahwa Rasulullah   bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya (sendiri), dan sungguh Nabi Dawud  makan dari hasil usaha tangannya (sendiri)” (H.R. Bukhari, no. 1966).

Penutup

Tujuan bekerja keras, bukanlah sekedar memenuhi naluri yakni hidup untuk kepentingan perut saja. Islam memberikan pengarahan kepada suatu tujuan filosofi yang luhur, tujuan yang mulia, tujuan yang ideal yang sempurna yaitu keimanan, berta’abbud, menghambakan diri untuk mencari keridaan Allah . Semua usaha seorang muslim yang bercorak duniawi maupun ukhrowi pada hakikatnya tertuju pada satu titik yaitu keridaan Allah  (mardhatillâh). 

Ibadah tidak hanya salat, puasa, zakat, haji akan tetapi ibadah dalam pengertian luas juga meliputi bidang  duniawi yang kesemuanya dilakukan dengan niat iman dan mencari keridaan Allah . Niat seorang muslim merupakan hal yang sangat penting, termasuk semua aktifitas yang dilakukannya. Niat merupakan tekat hati untuk melakukan suatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata karena Allah , sekaligus merupakan unsur yang sangat menentukan dalam keabsahan suatu ibadah. Wa Allâhu a’lam bi ash shawwâb.[] 

 

Referensi

Abdurrahman As-Sa’di. Taisir Al-Lathif Al-Mannan. h. 191. Dalam https://rumaysho.com/19982-kerja-dong-jangan-jadi-pengangguran.html. Diakses pada 4 Maret 2023 M.

Ahmad Janan Asifudin. Etos Kerja Islami. Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2004. 

Armansyah Walian. Konsep Islam tentang Kerja. An Nisa, Vol 8 No. 1 Juni 2013. 

Hamzah Ya’qub. Etos Kerja Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 2001. Cet. 3. 

Hasan Shadily, et.al. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project. tt. Jilid 3.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/bekerja. Diakses pada 4 Maret 2023 M.

https://www.merdeka.com/jateng/tujuan-bekerja-dalam-islam-lengkap-beserta-hukumnya-kln.html. Diakses pada 4 Maret 2023 M.

Isma’il Al-Faruqi R., dkk. 1995. Academic Dissertations (3): Islamizations of Economics. USA: The International Institute of Islamic Thought.

Ismail Raji al Faruqy. Ab’adul ‘ibadat fil Islam, dalam jurnal al-muslim al-muasir al-Qahirah. No. 10, 1977.

Longman. Dictionary of Contemporary English. Great Britain: Longman Group U.K. Limited. 1989.

Musa Asy’arie. Islam: Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat. Yogyakarta: LESFI. Cet. 1.

Tim DPPAI. Ensiklopedi Dakwah. Yogyakarta: LPPAI UII. Cet. 1. 2004.

Toto Tasmara. Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: Jami’atul Ikhwan. 1993.

Loading