Melatih Berpikir Induktif

Oleh: Fathul Wahid

Sangat lazim kita dengar atau baca, bahwa kita harus mulai dari mendefinisikan masalah sebelum mendesain solusi. Pola ini kita temukan di banyak konteks, mulai dari riset sampai dengan pengambilan keputusan di organisasi. Inilah yang disebut dengan penalaran deduktif yang berangkat dari masalah yang didasarkan pada prinsip-prinsip umum.

Penalaran deduktif

Pendekatan deduktif mempunyai beberapa kecohan yang perlu diketahui. Salah satunya, adalah kemungkinan kesalahan dalam premis atau masalah pemicu. Masalah kadang tidak tepat didefinisikan sehingga disalahpahami. Sebagai contoh, ketika kita mengetahui kawan kita sakit kepala, apa reaksi kita? Apakah sakit kepala menjadi sumber masalah atau hanya gejala? Apa sumber masalahnya? Bisa jadi kita menyarankannya minum parasetamol sebagai penghilang nyeri. Sakit kepala sangat mungkin berangsur hilang.

Apakah obatnya telah menghilangkan sumber masalah? Belum tentu. Mengapa? Seseorang mengalami sakit kepala bisa karena beragam sebab. Mulai dari penyakit, seperti sinusitis, flu, demam, sakit gigi sampai kurang tidur, telat makan, stres, suara bising, gangguan pada penglihatan. Mendeteksi penyebab dengan benar sangat penting untuk memberi solusi permanen.

Masalah di organisasi juga serupa. Ketika seorang pegawai tidak bersemangat bekerja dan karenanya tidak produktif, sebabnya sangat beragam. Kita bisa buat daftar kemungkinannya. Mulai dari masalah personal, soal keluarga, hubungan dengan sejawat, sampai dengan atasan yang abai.

Kemampuan mengidentifikasi sumber masalah, karenanya sangat penting, sebagai basis merumuskan solusi yang tepat. Beragam sumber masalah harus masuk ke dalam radar. Kegagalan dalam proses ini akan mengirim kita kepada kecohan yang lain, karena mengabaikan kemungkinan sumber masalah yang relevan.

Kita coba baca silogisme berikut. “Jika hujan, maka tanah basah. Hari ini tidak hujan, maka tanah tidak basah.” Terkesan benar bukan? Tetapi kita bisa lupa bahwa penyebab tanah basah tidak hanya hujan. Saluran air yag meluap atau bocor, misalnya, juga bisa menjadi penyebab.

Apakah pendekatan deduktif seperti di atas tidak boleh digunakan? Siapa bilang? Pendekatan ini masih valid, tetapi kecohan-kecohannya perlu dipahami.

Penalaran induktif

Pertanyaan selanjutnya: apakah ada pendekatan lain selain itu? Ada. Pendekatan induktif akan melengkapinya. Pendekatan induktif tidak bermula dari masalah, tetapi dari observasi atau contoh. Dalam konteks organisasi, penalaran induktif dapat berangkat dari pemahaman akan pontensi.

Pendekatan ini mengandaikan kemungkinan-kemungkinan dan bukan kepastian. Realitas sosial, termasuk organisasional, selalu penuh kemungkinan.

Beragam inovasi yang kita gunakan saat ini, termasuk teknologi Internet atau layanan pesan WhatsApp, misalnya, muncul karena penalaran induktif. Tentu daftar ini dapat dibuat sangat panjang.

Penemu Internet (world wide web), Tim Berners-Lee, melihat ada potensi besar dari beragam server yang ada di muka bumi jika terhubung. Muncullah kemudian protokol komunikasi antarserver.

Layanan WhatsApp hadir juga dengan pola serupa. Bukan karena ada masalah dalam komunikasi berbasis Internet yang sudah mulai marak, tetapi karena pengembangnya melihat potensi dari layanan Internet bergerak di gawai yang bisa dimanfaatkan.

Dalam organisasi juga serupa. Layanan koneksi Internet yang sudah stabil akhirnya menjadi basis pengembangan layanan UIIPrint. Layanan ini jangan dibayangkan bisa dijalankan pada masa ketika setiap hari kita mengeluhkan kualitas koneksi Internet.

Kualitas koneksi ini, bisa memicu layanan baru lainnya, termasuk pembelajaran daring dan pembukaan program pendidikan jarak jauh. Ini adalah contoh layanan karena penalaran induktif.

Contoh lain. Ketika kita mengetahui jika setiap gawai terkoneksi ke UIIConnect terekam di dalam wireless controller, maka pada saat pandemi, kita kembangkan layanan pelacakan mobilitas warga kampus. Kita memanfaatkan data yang sudah ada untuk membuat layanan baru, UIIDensitas (maaf, layanan terakses terbatas untuk melindungi privasi).

Ke depan, dengan pendekatan serupa, jika disepakati, presensi kehadiran fisik di kampus bisa terjadi secara otomatis tanpa intervensi pegawai secara rutin setiap hari. Hampir seribuan access point yang tersebar di seluruh pojok kampus akan membantu mendeteksi kehadiran pegawai.

Penalaran induktif mengharuskan kita untuk sensitif dalam memahami potensi dari semua konteks dan teknologi yang sudah terpasang. Pemahaman yang baik akan memunculkan ide-ide yang sangat mungkin di luar arus utama.

Bagaimana jika ke depan, ada pilihan kerja dari mana saja untuk pegawai, misalnya? Tentu, untuk menjadi sebuah keputusan, semua harus didiskusikan dengan matang, karena setiap pilihan dipastikan mempunyai maslahat dan mudaratnya.