“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.“
Ungkapan ini sering kali diucapkan dalam masyarakat, namun sering salah arti. Sebagai muslim yang bertaqwa, perlu membahas makna yang tepat dari ungkapan ini, serta penjelasan mengenai kebenaran atau kesalahannya.
Meskipun ungkapan ini sering terdengar di masyarakat, ungkapan ini bukanlah hadis dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah mengungkapkan bahwa ungkapan ini tidak sahih, meskipun umum bagi masyarakat.
Selain itu, dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) jilid kedua, ungkapan tersebut tidak tepat jika bersandar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bekerja Keras untuk Dunia. Apakah Selaras dengan PerintahNya?
Apa Benar Ungkapan Tersebut?
Bagian kedua dari ungkapan ini, “Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok,” adalah benar. Menurut Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, pengasuh Web Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, makna kalimat ini memotivasi kita untuk lebih memfokuskan diri pada amalan untuk akhirat. Kita perlu mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh menghadapi kehidupan setelah mati. Perintah ini sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun, untuk bagian pertama, “Bekerjalah di dunia seakan-akan engkau hidup selamanya,” ungkapan ini memiliki dua sisi. Dari satu sisi, ungkapan ini benar, tetapi dari sisi lain, tidak sepenuhnya tepat.
Makna yang Benar dan Keliru
Ungkapan pertama, “Bekerjalah di dunia seakan-akan engkau hidup selamanya,” memiliki makna yang benar jika berfaham bahwa kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezeki dan beraktivitas di dunia. Hal ini agar kita tidak cepat merasa puas dan tetap berusaha keras dalam menjalani kehidupan dunia. Namun, dunia bukanlah tujuan utama; dunia hanya sarana untuk meraih kehidupan akhirat yang lebih baik.
Makna yang keliru adalah jika ungkapan ini berarti bahwa kita harus mati-matian mengejar dunia, hingga melupakan akhirat. Dunia harus kita cari, tetapi bukan untuk dijadikan tujuan utama. Dunia adalah tempat untuk beramal shalih, yang menjadi bekal bagi kehidupan di akhirat.
Akhirat Dikejar, Dunia Nomor Dua
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, seorang ulama besar Kerajaan Saudi Arabia di abad ke-20, menegaskan bahwa ungkapan “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya” termasuk hadits palsu (hadits maudhu’). Oleh karena itu, maknanya harus paham dengan hati-hati.
Sering kali, orang salah memahami ungkapan ini sebagai ajakan untuk bersemangat mengejar dunia dan melupakan akhirat. Padahal, makna yang tepat adalah kita harus bersemangat dalam mengejar akhirat, sementara dalam urusan dunia, kita tidak perlu tergesa-gesa. Apa yang belum selesai hari ini, bisa selesai besok.
Makna yang Tepat untuk Kehidupan Dunia dan Akhirat
Untuk urusan akhirat, kita bersegera melakukan amalan shalih dan tidak menunda-nunda. Seolah-olah kita tidak akan bertemu dengan esok hari. Bahkan, kita tidak tahu kapan maut datang menghampiri kita. Oleh karena itu, manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk beramal, karena hidup kita sangat terbatas.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا أصبحت فلا تنتظر المساء، وإذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وخذ من صحتك لمرضك ومن حياتك لموتك.” (رواه البخاري)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
Rasulullahu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Jika engkau berada di pagi hari, jangan tunggu sampai petang. Jika engkau berada di petang hari, jangan tunggu sampai pagi. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum datang sakitmu, dan manfaatkan waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari)
Ayat-ayat yang Berkaitan
Namun Beberapa dalil pada Al-Quran, juga mendukung bagaimana “Bekerja untuk dunia seakan hidup selamanya”. Yang pertama, pada QS Al-Ashr. Allah berfirman
“Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh serta saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran.”
Berisi bagaimana penciptaan manusia, dan memanfaatkan waktu dengan merugi. Mereka akan merugi Ketika tiada beramal shalih berupa saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu (kebahagiaan) di dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat ini mengingatkan kita untuk menyeimbangkan dunia dan akhirat, yaitu berusaha keras untuk dunia kita tanpa melupakan akhirat. Dalam konteks ini, kita berusaha seakan-akan kita akan hidup selamanya di dunia, tetapi tetap menjaga keseimbangan dengan kepentingan akhirat.
Dan agar menjadi refleksi bagi yang masih merasa ungkapan bekerja untuk maksimal di dunia karena hadis tersebut atau agar mengejar akhirat lebih maksimal. Sebagaimana Firman Allah pada Surat An-Najm ayat 39-41:
“Dan bahwa seseorang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwa usahanya kelak akan diperlihatkan (di hadapan Allah).”
Ungkapan “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya” tidak tepat jika bersandar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna yang benar adalah bahwa kita harus bersegera dalam beramal untuk akhirat dan tidak menunda-nunda. Sementara itu, dalam urusan dunia, kita mendapat kelapangan untuk mencapainya, dengan harapan bahwa jika belum tercapai hari ini, masih ada kesempatan untuk esok hari.
Semangat dalam bekerja di dunia sah-sah saja, tetapi jangan sampai kita lupa bahwa tujuan utama kita adalah akhirat. Teruslah menempuh cara yang halal dalam kehidupan dunia, sambil menjaga agar akhirat tetap menjadi prioritas.
https://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2025/09/Bekerja-untuk-Dunia-Seakan-akan-Hidup-Selamanya-Featured-Image.jpg14982000DSDM/SK UII Berdakwahhttps://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2023/03/DSDM-1030x330.pngDSDM/SK UII Berdakwah2025-09-17 11:50:222025-09-17 12:11:40Bekerja untuk Dunia Seakan-akan Hidup Selamanya
Sebagai seorang Muslim, sabar merupakan akhlak yang ditekankan untuk dimiliki orang yang beriman dalam menjalani kehidupan ini. Salah satu bentuk kesabaran yang perlu kita miliki adalah sabar dalam menghadapi ujian dari Allah Swt.
Bentuk Ujian yang Dihadapi Setiap Muslim
Tidak ada satu pun manusia yang luput dari ujian Allah Swt. Ada beberapa bentuk ujian kehidupan yang Allah berikan, antara lain ada yang diuji dengan kehilangan orang tercinta, ada yang diuji dengan sakit yang berkepanjangan, ada pula yang diuji dengan rezeki yang terasa sempit atau musibah yang datang tiba-tiba. Di masa sulit tersebut, akan sangat mudah membuat kita menjadi berputus asa, menanamkan prasangka, dan pada akhirnya menurunkan iman kita.
Maka yang harus kita lakukan adalah menjaga iman kita kepada Allah Swt. Bagaimana caranya? Kita hanya perlu sabar dan tawakal, bahwa Allah adalah satu-satunya tempat kita bergantung untuk keluar dari segala kesulitan.
“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 146).
Sabar bukan berarti hanya diam tanpa berusaha. Sabar adalah ikhlas menerima kenyataan yang berat, menahan lisan dari keluh kesah, serta tetap berusaha dengan cara yang diridhai Allah Swt.
Kita perlu menjadikan sabar sebagai benteng kita agar hati menjadi tenang dan langkah tetap terjaga. Bagi orang yang bersabar, ujian kehidupan merupakan peluang untuk belajar bersyukur dengan keyakinan bahwa Allah Swt mengetahui apa yang terbaik bagi umat-Nya.
Makna Sabar dalam Kehidupan Sehari-hari
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Al-Qur’an Surat Al-Insyirah Ayat 5-6).
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa ketika kita mendapati kesulitan, pada saat yang sama Allah Swt memberikan lebih banyak kemudahan. Sebesar apa pun ujian yang datang, pertolongan Allah Swt lebih luas dan lebih dekat dari yang disangka. Dengan pemahaman tersebut, maka hati kita akan menjadi lebih lapang saat menghadapi ujian yang dirasa sulit dalam kehidupan ini.
Pada akhirnya, kita akan bertahan dari segala ujian atas izin Allah Swt. Semoga Allah menjadikan kita orang yang sabar dalam menghadapi segala ujian-Nya. Bukankah pada hakikatnya hidup ini adalah ujian?
Pada zaman modern ini, bidang perekonomian utamanya di Indonesia sedang dalam fase yang cukup meningkat setelah pandemi yang melanda selama kurang lebih 3 tahun lamanya. Perekonomian yang paling mendominasi adalah berbisnis kebutuhan pokok atau sembako. Etika berbisnis dalam Islam sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam setiap transaksi, termasuk dalam perdagangan sembako dan hutang piutang. Menurut agama Islam, setiap manusia harus memiliki perilaku yang baik dalam melaksanakan berbagai urusan kehidupan, baik kewajiban terhadap Rabb-Nya maupun terhadap segala makhluk ciptaan-Nya. Perilaku atau etika dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam ibadah menyembah/menjalankan kewajiban kepada Allah (habluminAllah) maupun dalam hubungan kehidupan antar manusia (habluminannaas).
Perilaku berhubungan antar manusia khususnya dalam hal perdagangan agama Islam merupakan aspek kehidupan berdasarkan masalah muamalah, yaitu masalah yang berkenaan dengan hubungan horizontal namun sesuai dengan ajaran Islam tentunya mengacu kepada tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Hubungan tersebut tentunya memerlukan adanya etika yang berjalan dengan baik, etika bertransaksi dengan tidak mendzhalimi semua pihak. Selain dengan tujuan mendapatkan keuntungan dan keberkahan, etika berbisnis dalam Islam banyak memberikan solusi yang terbaik kepada semua pihak apabila terdapat perselisihan yang terjadi.
Pandangan Beragam dalam Masyarakat Mengenai Etika
Etika tersebut berupa contoh dari kegiatan pinjam meminjam atau bisa disebut pula hutang piutang. Hukum dasar Pinjam-Meminjam adalah boleh (Mubah). Hukum bagi orang yang meminjamkan adalah Mubah. Sedangkan mengembalikan utang (pinjaman) hukumnya adalah Wajib. Bila si peminjam (pengutang) tidak mampu untuk membayar (mengembalikan), maka ada tiga jalan yaitu perpanjangan waktu pengembalian, pemotongan/pengurangan besarnya pinjaman, atau memaafkan/mengikhlaskan sebagai sedekah. Menurut Agama Islam, orang yang memiliki hutang adalah orang yang kesusahan atau kesulitan namun Agama Islam memberikan solusi (jalan keluar) yaitu akan mendapatkan bagian zakat (sedekah) karena ia termasuk 8 Asnaf yang berhak menerima zakat (shodakoh), yaitu ia termasuk Al Ghorimin (orang yang terbelit utang).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika memiliki makna sebagai ilmu mengenai segala bentuk perbuatan yang bernilai baik maupun segala bentuk perbuatan yang bernilai buruk, serta mengenai hak dan kewajiban moral (akhlak). Pengertian etika dalam sumber lain yaitu oleh Supratman Syukur bahwa, etika dihubungkan dengan tiga perbedaan yang berarti merupakan pola umum atau jalan hidup, seperangkat aturan atau kode moral, dan penyelidikan tentang jalan hidup dan aturan-aturan perilaku, atau merupakan penyelidikan filosofis tentang hakikat dan dasar-dasar moral (Sari, 2017).[1] Berbeda pendapat dengan Griffin dan Ebert yang menyampaikan, bahwa pengertian etika yaitu keyakinan mengenai tindakan yang benar dan yang salah, atau tindakan yang baik dan yang buruk, yang mempengaruhi hal lainnya (Budiyanto, 2017).[2]
Bisnis dalam Perspektif Islam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bisnis memiliki makna usaha yang memberikan keuntungan atau bidang usaha atau usaha dagang. Pendapat lain oleh Mahmud Machfoedz menjelaskan bahwa, bisnis adalah usaha perdagangan oleh sekelompok orang yang terorganisasi untuk mendapatkan laba dengan memproduksi dan menjual barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Sogiri, 2019). Sedangkan Skinner berpendapat bahwa bisnis sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat (Riyadi, 2015).[3] Sedangkan etika dalam berbisnis merupakan seperangkat norma bisnis yang wajib dimiliki pelaku bisnis dengan rasa tanggung jawab atau komitmen yang tinggi dalam bertransaksi, berperilaku, dan juga berelasi dalam mencapai tujuan bisnis dengan baik. Etika bisnis dalam Islam dapat menjadi pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis yaitu refleksi mengenai perbuatan baik, buruk, terpuji, tercela, benar, salah, wajar, tidak wajar, pantas dari pelaku seseorang dalam berbisnis atau bekerja (Hulaimi, 2017).[4]
Adapun etika bisnis syariah adalah tatanan mengenai keseluruhan nilai dan norma yang digunakan dalam melaksanakan bisnis dengan berdasarkan ajaran agama Islam, yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ajaran agama Islam merupakan dasar utama bagi pelaku bisnis dalam melaksanakan tindakan bisnis yang dapat menjamin terlindungnya hak serta kepentingan setiap pelaku bisnis. Sumber utama etika bisnis; Al-Qur’an telah memberikan tuntutan konsep keadilan, perlindungan akan manusia, kebebasan yang bertanggung jawab dan lain sebagainya (Maulidya, Kosim, & Devi, 2019[5]; Wati, Arif, & Devi, 2022).[6] Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika bisnis syariah merupakan seluruh aturan dan ketentuan mengenai perilaku seseorang kepada orang lain dalam melaksanakan kegiatan bisnis yang berlandaskan sesuai dengan prinsip syariah dan nilai-nilai syariah, dengan bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umat.
Kebutuhan ekonomi berpengaruh besar terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Salah satu kebutuhan pokok manusia dalam kehidupan adalah kebutuhan pangan atau sembako. Kata sembako yang terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki makna sebagai sembilan bahan pokok (sembilan jenis makanan sebagai bahan kebutuhan pokok masyarakat, yang berdasarkan pada Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan pada 1998. Sembako adalah sembilan bahan pokok pangan yang merupakan kebutuhan pokok (Ayodya, 2016).[7] Secara umum, sembilan bahan pokok meliputi; beras, kedelai, jagung, gula, bawang merah, minyak goreng, daging beku dan daging segar, daging ayam ras, serta telur ayam ras (Tempo, 2019).[8] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sembilan bahan pokok merupakan kumpulan bahan-bahan pangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
Hutang Piutang dalam Islam
Perekonomian yang berjalan tentu tidak selalu mulus, terdapat kendala seperti hutang piutang. Dalam Islam utang dikenal dengan Qardh yang secara etimologi berasal dari kata al-qath’u yang berarti memotong. Harta yang diberikan kepada muqtaridh (orang yang berutang), sebab merupakan potongan dari harta muqridh (orang yang memberi utang). Qardh juga di definisikan sebagai harta yang diberikan pemberi pinjaman kepada penerima dengan syarat penerima pinjaman harus mengembalikan besarnya nilai pinjaman pada saat mampu mengembalikannya.
Menurut Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah Bank Indonesia, Qardh atau pinjaman adalah suatu akad pinjam meminjam dengan ketentuan pihak yang menerima pinjaman wajib mengembalikan dana sebesar yang diterima. Kata Qardh ini kemudian diadopsi menjadi credo (Romawi), credit (Inggris), dan kredit (Indonesia). Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pedagang sembako adalah seorang yang bekerja sebagai pedagang, yang memperjualbelikan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat terutama sembilan bahan pokok pangan, dan memiliki tujuan untuk memperoleh profit dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan biasanya berlokasi di sekitar pemukiman masyarakat.
Setiap manusia yang berbisnis wajib memiliki pengetahuan dan pemahaman terkait transaksi jual beli, agar bisnis yang dilakukan sesuai dengan aturan syariat islam, dan akan terhindar dari larangan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Setiap pedagang harus menerapkan dan berpegang teguh dengan nilai etika bisnis islam dalam transaksi jual beli. Etika berbisnis dalam Islam berupa norma yang mengatur tentang etika berbisnis yang sumbernya berasal dari Al-Qur’an dan Al- Hadits, dimana sumber ini diciptakan sebagai petunjuk oleh seseorang dalam berdagang. Etika berbisnis dalam Islam ini sangat diperlukan dalam kegiatan berbisnis mengingat banyak fakta yang terjadi akan bisnis yang semakin terjalinnya hubungan antar sesama manusia (habluminannaas) dengan baik hingga dapat tercapainya perdagangan sembako secara syariah, tidak menguntungkan sepihak (penjual), tidak merugikan pembeli dengan mengambil keuntungan yang tidak wajar untuk memperoleh hasil sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan kebarokahan rezeki. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an telah banyak ayat yang menjelaskan tentang rezeki diantaranya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (Q.S Hud : 6)
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. At-Talaq : 3)
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (Q.S. An-Najm : 39-41)
Dari ketiga kutipan ayat tersebut jelas bahwasanya rezeki itu datangnya dari Allah. Dan kita sebagai manusia hanya bisa berikhtiar dan berusaha meraih keberkahan atas rezeki dari-Nya. Saat ini dengan adanya telnologi informasi yang berkembang pesat memberikan dampak yang sangat signifikan akan kemajuan khususnya dalam hal perdagangan. Berbagai kemudahan akses mudah didapatkan, dalam hal ini banyak pedagang yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi tersebut bukan sebagai keterbukaan atau kejujuran dalam perdagangan akan tetapi memanfaatkannya dalam bentuk kecurangan.
Misalnya dengan memberikan promo-promo menarik melalui sosial media sebagai bentuk tipu-tipu dalam mempromosikan produk-produk dagangannya, dengan memberikan diskon tertentu terhadap produk tertentu dengan diharuskan membeli paket lainya yang harganya sudah dinaikkan untuk dapat mengambil promo tersebut. Hal tersebut banyak terjadi dalam perdagangan khususnya sembako. Para pedagang mengambil keuntungan sedikit bahkan bisa tidak mengambil keuntungan atas produk-produk promo, tetapi harus membeli produk lainya yang harga sudah dinaikkan, jadi sebenarnya keuntungan dari produk promo diambilkan dari produk barang lainnya, hal tersebut sebenarnya sudah dapat dikatakan menipu pembeli.
Dalam konsep Islam kegiatan hutang piutang boleh tanpa adanya tambahan, sedangkan dalam pelaksanaannya tergantung pada keadaan ekonomi yang bersangkutan, apakah yang bersangkutan sudah tepat melakukannya atau belum. Memberikan hutang atau pinjaman adalah perbuatan yang baik, karena merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang terdapat unsur tolong menolong sesama manusia sebagai makhluk sosial. Mengkaji hal hutang piutang dalam Islam disebut dengan qardh merupakan upaya memberikan pinjaman mengembalikan gantinya. Hutang piutang merupakan hal yang sudah biasa dalam kehidupan ini untuk memenuhi kebutuhan karena ekonomi yang rendah. Pada dasarnya hutang piutang merupakan perbuatan hanya untuk tolong menolong kepada yang membutuhkan dan hanya untuk membantu meringankan atas kebutuhannya bukan untuk memberatkan seseorang atas pinjamannya karena adanya tambahan. Islam mengatur kegiatan muamalah dengan baik yang tertulis di dalam Al-Quran. Salah satunya yaitu tentang utang piutang, sebagaimana dalam firman Allah SWT adalah sebagai berikut:
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah Maha pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (Q.S. At-Taghaabun : 17)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 280)
Hukum menunda pembayaran utang dapat di bagi menjadi 2, yaitu:
Hukum menunda pembayaran hutang adalah haram, jika orang yang berhutang tersebut telah mampu membayar hutang dan tidak memiliki uzur yang agama benarkan setelah orang yang memberikan utang memintanya atau setelah jatuh tempo. Dalilnya adalah sabda Rasulullah yang artinya: “Penundaan (Pembayaran hutang) oleh orang yang kaya (mampu) merupakan penganiayaan, dan apabila salah seorang di antara kamu (utangnya) dialihkan kepada orang yang kaya (mampu) maka hendaklah ia menerimanya”. (HR. Abu Dawud)
Hukum menunda pembayaran hutang adalah mubah, apabila orang yang berhutang memang benar-benar belum mampu membayarnya atau ia telah mampu membayarnya namun masih berhalangan untuk membayarnya, misal uang yang ia miliki belum berada ditangannya atau alasan-alasan lain yang agama benarkan.
Pembaca yang dirahmati Allah SWT, setelah menuliskan beberapa kajian mengenai etika berbisnis dalam Islam bahwa terdapat keselarasan dalam bisnis perdagangan sembako yang syariah dengan berdagang secara ikhlas, jujur, amanah, adil, bekerja keras, kerjasama, murah hati, sederhana, bersaing secara sehat, serta menjual produk yang halal dan berkualitas baik. Bagaimana penerapan hal ini dalam perdagangan sembako secara syariah, khususnya bagi para pedagang muslim. Transaksi jual beli berupa diskon merupakan kegiatan strategi pemasaran dalam berbisnis dan hutang piutang adalah kegiatan orang yang meminjamkan atau memberi hutang dengan orang yang meminjam atau berhutang dengan kesepakatan atau ijab qabul dan barang atau uang terhutang.
Oleh : Parwanto
Sumber Referensi:
[1] Sari, I. (2017). Penerapan Etika Bisnis Bagi Pedagang Muslim Dalam Persaingan Usaha (Studi Kasus Pasar Butung Makassar).UIN Alauddin Makassar.
[2] Budianto, A., Pongtuluran, Y., & Syaharuddin Y. (2017). Pengaruh Etika Kerja dan Kompensasi Finansial Terhadap Kinerja Karyawan.Jurnal Ekonomi dan Manajemen Volume 14 Nomor 1.Universitas Mulawarman Samarinda.
[3] Riyadi, Fuad. (2015).Urgensi Manajemen Dalam Bisnis Islam.Jurnal Bisnis Volume 3 Nomor 1 STAIN Kudus.
[4] Hulaimi, A., Sahri., & Huzaini, M. (2017). Etika Bisnis Islam dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Pedagang Sapi.Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang Volume 2 Nomor 1.
[5] Maulidya, R. N., Kosim, A. M., & Devi, A. (2019). Pengaruh Etika Bisnis Islam Dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Dan Loyalitas Pelanggan Hotel Syariah Di Bogor. Al-Amwal: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, 11(2), 221-240.
[6] Wati, D., Arif, S., & Devi, A. (2022). Analisis Penerapan Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam Dalam Transaksi Jual Beli Online di Humaira Shop. El-Mal: Jurnal Kajian Ekonomi & Bisnis Islam, 3(1), 141-154.
[7] Ayodya, W. (2016).14 Hari Langsung Mulai Jadi Pengusaha.Elex Media Komputerindo dari https://books.google.com/books/about/14_Hari_Langsung_Mulai_Jadi_Pengusaha_Ne.html?hl=id&id=PYpKDwAAQBAJ (diakses pada 11 November 2019).
https://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2025/08/Pentingnya-Menciptakan-Etika-Berbisnis-dalam-Islam-Featured-Image.jpg7491000DSDM/SK UII Berdakwahhttps://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2023/03/DSDM-1030x330.pngDSDM/SK UII Berdakwah2025-08-14 10:27:052025-09-17 12:21:08Pentingnya Menciptakan Etika Berbisnis dalam Islam
Bekerja merupakan bagian integral dari kehidupan seorang Muslim, tidak hanya sebagai sarana mencari nafkah, tetapi juga sebagai bentuk ibadah dan aktualisasi diri. Dalam Islam, bekerja tidak hanya dari hasil materi semata, melainkan juga dari cara dan niat pelaksanaannya. Oleh karena itu, memahami adab dan etika dalam bekerja menjadi krusial untuk mencapai keberkahan dan kesuksesan, baik di dunia maupun di akhirat.
Adab dan Etika dalam Bekerja Menurut Islam
Dalam Islam, bekerja dianggap sebagai ibadah yang mulia, bahkan bisa disetarakan dengan Jihad Fii Sabilillah, terutama jika diniatkan untuk mencari rezeki yang halal dan menafkahi keluarga. Setiap Muslim bekerja dengan sungguh-sungguh dan ikhlas karena Allah SWT. Ini berarti menempatkan niat utama bekerja untuk mencari rida Allah, serta menyadari bahwa pekerjaan adalah amanah dan kewajiban. Memulai pekerjaan dengan zikir dan doa dapat membantu memperkuat niat ini.
Prinsip Etika Kerja dalam Islam
Implementasi dari keikhlasan dalam bekerja adalah itqon, yang berarti ketekunan, kesungguhan, dan profesionalisme. Seorang Muslim membiasakan datang tepat waktu, menyelesaikan kewajiban secara tuntas, tidak menunda-nunda pekerjaan, dan tidak mengabaikan tanggung jawab. Profesionalisme ini mencakup dedikasi, komitmen, dan kreativitas dalam menjalankan tugas, sebagaimana Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengajarkan untuk mencintai seseorang yang melakukan pekerjaannya dengan baik.
Menerapkan adab dan etika dalam bekerja dengan ukhuwah. Sumber: freepik – ianmikraz
Nilai-Nilai Utama dalam Etika Bekerja
Beberapa prinsip mengenai etika kerja dalam Islam meliputi:
Jujur: Kejujuran adalah fondasi utama dalam setiap aspek pekerjaan. Hal ini mencakup kejujuran dalam perkataan, perbuatan, takaran, dan transaksi. Rasulullah SAW sangat membenci dusta, dan berpesan agar seorang pedagang yang jujur akan bersama para syuhada di Hari Kiamat.
Amanah: Amanah berarti menjaga kepercayaan yang diberikan, baik oleh atasan, rekan kerja, organisasi, maupun masyarakat. Seorang Muslim yang amanah akan bertanggung jawab penuh terhadap tugas dan kewajibannya, serta menghindari segala bentuk manipulasi dan korupsi.
Keadilan: Islam mendorong praktik keadilan dalam profesi. Seorang Muslim harus memperlakukan semua orang secara adil, tanpa memandang perbedaan status sosial, agama, atau ras. Keadilan ini juga berlaku dalam memberikan hak dan kewajiban kepada semua pihak yang terlibat dalam pekerjaan.
Persaudaraan (Ukhuwah): Membangun suasana kerja yang harmonis didasari oleh prinsip persaudaraan. Saling tolong-menolong dalam kebaikan, menghindari iri dengki, hasad, dan khianat, serta menjalin kasih sayang adalah bagian dari etika kerja yang penting.
Tanggung Jawab: Setiap Muslim harus bertanggung jawab terhadap pekerjaannya dan menghormati kewajiban yang ada. Ini berarti memiliki kesadaran akan dampak dari setiap tindakan dan keputusan.
Integritas: Integritas mencakup konsistensi antara nilai-nilai moral dan tindakan nyata. Seorang Muslim harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dan etika saat menjalankan tugasnya.
Menerapkan Adab dan Etika dalam Dunia Kerja
Oleh karena itu, dengan menginternalisasikan adab dan etika dalam bekerja, seorang tenaga kependidikan di lingkungan Universitas Islam Indonesia dapat memberikan kontribusi yang maksimal, tidak hanya dalam aspek profesional tetapi juga spiritual, sejalan dengan prinsip rahmatan lil alamin yang diusung oleh universitas.
Oleh : Nur Sumiyono Sa’adi (Administrasi Sumber Daya Manusia)
https://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2025/07/Pentingnya-Memahami-Adab-dan-Etika-dalam-Bekerja-Featured-Images.jpg10771440DSDM/SK UII Berdakwahhttps://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2023/03/DSDM-1030x330.pngDSDM/SK UII Berdakwah2025-06-30 11:53:272025-08-28 14:00:22Pentingnya Memahami Adab dan Etika dalam Bekerja
Saat kita menginjakkan kaki di awal Tahun Baru Islam dengan langkah baru, sebuah kesempatan emas terbuka lebar untuk kita merefleksikan perjalanan hidup selama ini. Dunia ini sering kali menipu kita dengan keindahannya yang sementara, dan kita terjebak dalam rutinitas yang melupakan tujuan hidup yang sebenarnya. Mengingatkan kita untuk selalu mengingat tujuan hakiki hidup kita.
Menyambut Tahun Baru Islam. Sumber: freepik – user21155762
Tahun Baru Islam: Semangat Baru untuk Perubahan Positif
Tahun baru Islam adalah momen yang tepat untuk menyegarkan kembali niat dan tujuan hidup kita. Sebagai contoh, seperti halnya seorang musafir yang tidak membangun rumah di tempat singgahnya, kita pun seharusnya tidak terlalu terikat dengan dunia yang hanya sementara. Namun, ini bukan berarti kita harus meninggalkan dunia begitu saja, tetapi kita harus memanfaatkannya sebagai ladang amal yang akan memberi hasil di kehidupan akhirat kelak. Dengan demikian, kita perlu membangun kehidupan yang seimbang, antara kesuksesan dunia dan akhirat. Sebagaimana diungkapkan para filsuf “Manusia hidup di dunia hanyalah mampir minum saja”. Mengisyaratkan, bahwa manusia hidup hanyalah sementara. Dan kefanaan hidup itu yang perlu kita pahami, bahwa hidup ini untuk mencari bekal untuk fase hidup selanjutnya.
Langkah Baru dalam Menyambut Tahun Baru Islam dengan Niat Baik
Sadarilah bahwa waktu adalah nikmat yang sangat berharga, yang sering kali kita sia-siakan. Hari ini adalah kesempatan terbaik untuk memulai perubahan positif. Namun, waktu yang telah berlalu tidak akan kembali, dan tidak ada yang bisa menjamin apakah kita masih memiliki waktu esok untuk memperbaiki diri. Oleh sebab itu, kita harus segera bertindak. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan permainan dan senda gurau. Dan sesungguhnya kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 64)
Menyambut Tahun Baru Islam dengan Langkah Baru: Fokus pada Perubahan Diri
Mari mulai tahun ini dengan memperbaiki hubungan kita dengan Allah dan sesama. Berikut adalah beberapa langkah perubahan positif yang bisa kita lakukan untuk memulai tahun baru dengan amal yang lebih baik:
Shalat Tepat Waktu Shalat adalah ibadah yang paling utama. Jadikan shalat tepat waktu sebagai komitmen kita untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Jangan tunda-tunda, karena setiap waktu yang terlewatkan begitu berharga. Rasulullah ﷺ bersabda:
Perbanyak Sedekah dan Infaq Sedekah adalah pembersih hati dan membawa berkah dalam hidup. Mulailah dengan memberi sedikit dari apa yang kita miliki, karena sedekah yang ikhlas akan menjadi investasi yang berlipat ganda di akhirat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebuah biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai terdapat seratus biji.” (QS. Al-Baqarah: 261)
Mengamalkan Al-Qur’an Bacalah Al-Qur’an dengan pemahaman dan renungan. Bukan hanya sekadar membaca, tetapi terapkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Al-Qur’an bukan hanya menjadi bacaan, tetapi pedoman hidup yang menerangi jalan kita. Allah berfirman:
“Dan ini adalah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya, dan supaya orang-orang yang berakal dapat mengambil pelajaran.” (QS. Sad: 29)
Tantangan: Apakah Kita Siap?
Satu pertanyaan penting yang harus kita jawab dengan jujur adalah: Apakah kita sudah siap untuk kembali kepada Allah? Apakah kita sudah mengumpulkan bekal yang cukup untuk perjalanan kita yang abadi? Selain itu, Rasulullah ﷺ mengingatkan kita untuk memanfaatkan waktu hidup kita dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada yang tahu kapan ajal akan datang. Beliau bersabda:
Di bulan baru hijriah ini, mari kita jadikan setiap detik sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri, menambah amal ibadah, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Dunia ini adalah ladang amal yang sementara, sementara akhirat adalah tujuan yang kekal. Jangan biarkan dunia menipu kita dengan gemerlapnya. Fokuslah pada tujuan akhir yang hakiki, yaitu kehidupan yang abadi di akhirat.
Sebagai penutup, semoga kita semua diberikan kekuatan untuk memperbaiki diri dan senantiasa berada di jalan yang diridhai oleh Allah. Mari berlomba-lomba dalam kebaikan, karena hanya amal saleh yang akan menjadi teman setia kita di alam kubur hingga ke akhirat.
https://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2025/06/Menyambut-Tahun-Baru-Islam-dengan-Langkah-Baru-Featured-Images.png14982000DSDM/SK UII Berdakwahhttps://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2023/03/DSDM-1030x330.pngDSDM/SK UII Berdakwah2025-05-31 14:00:482025-08-28 14:03:23Menyambut Tahun Baru Islam dengan Langkah Baru
Dalam kesibukan dunia yang begitu padat, sering kali kita lupa satu hal penting: bahwa kehidupan di dunia ini tidak kekal. Kita berlari mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kenikmatan yang dimana sifat dari semua itu hanyalah sesaat. Justru kita cenderung melupakan tujuan hakiki dari penciptaan kita. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an:
“Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan permainan dan senda gurau. Dan sesungguhnya kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 64)
Ayat diatas selalu menjadi pengingat kita sebagai seorang muslim bahwa dunia ini bukan merupakan tempat yang bisa ditinggali oleh manusia selama-lamanya. Akhir dari kehidupan selalu memantau kita setiap detiknya. Dunia hanyalah tempat singgah sementara layaknya sebuah terminal yang menjadi tempat kita menunggu giliran kira melanjutkan perjalanan ke kampung akhirat yang sifatnya kekal. Dunia ibarat hanyalah menjadi ladang tempat kita menanam amal, dan hasilnya akan kita petik di akhirat kelak.
Setiap manusia yang hidup di dunia sejatinya adalah seorang musafir. Seorang yang sedang dalam perjalanan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang lewat.” (HR. Bukhari)
Seperti yang bisa kita pahami bahwa tidak ada orang asing yang akan membangun istana di tempat yang hanya disinggahinya sebentar. Mereka tidak akan berlama-lama berada disuatu tempat yang dimana memang bukanlah disitu tujuan akhirnya. Cepat atau lambat kita akan segera meninggalkan tempat singgah kita sementara tersebut untuk kembali melanjutkan perlajalanan kita ke tujuan utama kita. Dari sini kita bisa memahami juga bahwa sejatinya kita tidak boleh terlalu sibuk membangun dunia yang diibaratkan sebagai tempat singgah sementara kita dan justru melupakan tujuan utama kita yakni akhirat. Karena sehebat apapun kehidupan kita di dunia, semuanya akan sirna ketika ajal datang menjemput. Tidak ada yang bisa kita lakukan kembali setelah kita meninggalkan semua hal yang fana ini.
Sering kali kita menyia-nyiakan kesempatan/waktu yang Allah berikan kepada kita. Padahal jika kita mau berfikir, kesempatan/waktu adalah nikmat yang luar biasa besarnya bagi kehidupan kita selama ini. Tapi justru sering sekali kita mengabaikan serta menyia-nyiakannya dengan mudahnya. Kita selalu merasa bahwa masih ada nanti, hari esok, bulan depan, tahun depan, dll. Tanpa kita sadari bahwa waktu/kesempatan adalah sesuatu yang ghaib. Karena kita tidak tahu kapan kematian akan datang menghampiri kita. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185)
Semua makhluk hidup, baik tumbuhan, hewan, manusia, bumi, langit, dll. Pasti akan mengalami akhir yang kita sebut dengan kematian. Kematian datang tanpa melihat bagaimana kondisi/keadaan kita. Ketika datang ya datang. Kematian datang sesuai dengan waktu yang telah Allah tetapkan kepada makhluknya. Ketika ajal telah datang, siapa yang bisa menundanya? Menunda untuk sesaat atau bahkan sedetik? Tentu jawabannya tidak ada. Tidak ada kompromi atau negosiasi. Time is over. Disaat itulah yang ada hanyalah penyesalan dan penyesalan. Bagi mereka yang telah melakukan banyak amal baik akan menyesal kenapa mereka tidak melakukan lebih banyak amal baik lagi. Bagi mereka yang tidak memiliki cukup amal, mereka tentu akan menyesal kemana saja mereka selama ini telah menyia-nyiakan kesempatan/waktu yang telah diberikan hanya untuk perbuatan-perbuatan yang tidak berguna.
“Ya Tuhan kami, kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh…” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)
Telah Allah ceritakan bagaimana keadaan mereka yang sangat menyia-nyiakan waktu/kesempatan mereka ketika didunia. Mereka telah mengetahui bahwa semua apa yang telah mereka lakukan adalah sia-sia, mereka penuh dengan penyesalan. Meminta ampun dan memohon untuk dikembalikan kedunia, tapi tiada guna semua itu dihadapan Allah. Telah diberi kesempatan kepada setiap mereka. Tiap mereka membuka mata di pagi hari, tapi mereka terlena dengan kemewahan dan kesenangan dunia tanpa memikirkan betapa pentingnya akhirat sebagai tujuan akhir mereka sebagai manusia. Maka, sekaranglah saat terbaik untuk memperbanyak amal. Karena hanya amal saleh yang akan menjadi teman setia kita di alam kubur hingga ke akhirat.
Amal ibadah adalah investasi sejati seorang mukmin. Ia tidak hanya berbuah pahala, tetapi juga memberikan ketenangan hati dan kedekatan dengan Allah. Berikut beberapa bentuk amal yang bisa kita tingkatkan:
Shalat Tepat Waktu
Shalat adalah tiang agama dan amalan pertama yang akan dihisab. Jangan remehkan lima waktu yang menjadi penghubung antara kita dan Sang Pencipta.
Sedekah dan Infaq
Sedekah bukan sekadar memberi, tetapi juga pembersih harta dan pengundang keberkahan. Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi orang yang bersedekah.
Membaca dan Mengamalkan Al-Qur’an
Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk ditadabburi dan diamalkan. Jadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam setiap langkah kehidupan.
Dzikir dan Doa
Ingatlah Allah dalam setiap kondisi. Lisan yang basah oleh dzikir akan membawa ketenangan jiwa dan menumbuhkan rasa syukur.
Menuntut Ilmu
Ilmu adalah cahaya. Menuntut ilmu agama adalah bentuk ibadah yang akan membimbing kita dalam beramal dengan benar.
Berakhlak Mulia
Rasulullah ﷺ diutus untuk menyempurnakan akhlak. Bersikap lembut, jujur, rendah hati, dan suka membantu adalah bagian dari ibadah yang sering diremehkan.
Merenung: Apakah Kita Siap?
Pertanyaan yang perlu kita ajukan kepada diri sendiri adalah: “Apakah kita sudah siap untuk kembali kepada Allah?” Jika hari ini adalah hari terakhir kita di dunia, apakah amal kita cukup? Apakah kita sudah memperbaiki hubungan kita dengan sesama dan dengan Allah?
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Gunakan lima perkara sebelum lima perkara: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, luangmu sebelum sempitmu, mudamu sebelum tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.” (HR. Al-Hakim)
Waktu terus berjalan, dan kematian tidak menunggu kita sadar. Maka jangan tunda amal ibadah. Hari ini mungkin masih ada waktu. Tapi esok, tak ada yang bisa menjamin.
Kesimpulan: Dunia Bukan Tujuan Akhir
Dunia hanyalah perjalanan. Maka jangan tertipu oleh gemerlapnya. Fokuslah pada akhirat, karena di sanalah kehidupan yang kekal berada. Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk senantiasa mempersiapkan bekal sebanyak mungkin sebelum berpulang.
Mari jadikan setiap hari sebagai kesempatan memperbanyak ibadah, memperbaiki diri, dan menjadi pribadi yang lebih dekat kepada Allah.
Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang cerdas, yang memanfaatkan dunia untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat.
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148)
Istilah work-life balance semakin relevan di era modern ini. Banyak individu mengalami tekanan kerja yang tinggi, sehingga sulit membagi waktu antara karier, keluarga, dan spiritualitas. Dalam Islam, keseimbangan antara dunia dan akhirat menjadi prinsip utama dalam menjalani kehidupan. Work-Life Balance mengajarkan kita untuk tidak hanya fokus pada karier dan duniawi, tetapi juga menjaga hubungan dengan Allah dan keluarga agar hidup tetap seimbang.
Tren media sosial seperti #kaburajadulu mencerminkan realitas sulitnya memperoleh pekerjaan layak. Banyak generasi muda dan pekerja terdampak lay-off. Oleh karena itu, kita perlu bersyukur terhadap pekerjaan dan bertanggungjawab penuh. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)
Pekerjaan sebagai Ibadah
Islam mengajarkan bahwa pekerjaan dapat bernilai ibadah jika berlandaskan pada niat yang benar. Bekerja tidak hanya demi gaji atau status sosial, tetapi juga untuk mencari ridha Allah Swt. Dimana terdapat hadits berbunyi:
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dengan meluruskan niat, pekerjaan yang dilakukan akan mendatangkan keberkahan dan pahala. Seorang muslim juga dianjurkan untuk bekerja dengan profesionalisme, jujur, disiplin, dan bertanggung jawab, sebagaimana dalam hadits:
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, dia menyempurnakannya.” (HR. Thabrani)
Menjaga Keseimbangan Spiritual dan Pekerjaan
Selain bekerja dengan baik, tidak boleh abai pada aspek spiritual. Allah memberikan waktu yang sama kepada setiap hamba-Nya, sehingga perlu mengalokasikan waktu untuk beribadah dan memperdalam ilmu agama. Merutinkan diri untuk bisa mengikuti kajian baik daring maupun luring, dapat menjadi moment diri kita menepi sejenak dari hiruk pikuk dunia. Umat Islam bisa semakin mudah memperdalam ilmu agama (dengan tetap bersumber pada Al Qur’an dan Hadist), selain itu mengikuti kelas seperti belajar tahsin dan bahasa arab bisa menjadi alternatif aktivitas yang bermanfaat untuk menambah wawasan dalam beragama.
Kemudian, salah satu bentuk menjaga keseimbangan spiritual sehari-hari adalah melaksanakan sholat tepat waktu. Walaupun pekerjaan terasa tanggung untuk ditinggalkan, kita harus tetap memprioritaskan sholat sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103)
Hak Tubuh untuk Istirahat
Selain bekerja dan beribadah, Islam juga mengajarkan pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental. Beristirahat, berlibur, serta meluangkan waktu bersama keluarga adalah bagian dari keseimbangan hidup. Dalam hadits disebutkan:
“Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Relaksasi membantu menjaga produktivitas dan kebahagiaan, sehingga dapat menjalankan tugas dan ibadah dengan lebih optimal.
Kesimpulan
Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Bekerja keras itu penting, tetapi tidak boleh melupakan kewajiban kepada Allah dan diri sendiri. Dengan bersyukur atas pekerjaan, bekerja profesional, mengalokasikan waktu untuk ibadah dan keluarga, serta menjaga kesehatan, kita dapat mencapai work-life balance yang diridhai Allah Swt.
Semoga kita semua dapat menjalani kehidupan yang seimbang, berkah, dan harmonis antara pekerjaan dan ibadah. Aamiin.
https://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/Work-Life-Balance-Islami-Menjaga-Dunia-dan-Akhirat-Seimbang-Featured-Images.png14982000DSDM/SK UII Berdakwahhttps://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2023/03/DSDM-1030x330.pngDSDM/SK UII Berdakwah2025-02-28 08:07:152025-08-28 14:31:43Work-Life Balance Islami : Menjaga Dunia dan Akhirat Seimbang
Makna hidup dalam Islam memiliki jawaban yang mendalam dan penuh hikmah, membantu setiap manusia memahami tujuan penciptaan serta menjalani kehidupan dengan lebih bermakna. Melalui video ini, kita akan mengeksplorasi makna hidup menurut Al-Qur’an dan Sunnah, serta bagaimana memahami tujuan penciptaan kita dapat membawa ketenangan hati.
Ingin mengetahui lebih banyak tentang panduan hidup Islami? Cek konten terbaru kami untuk artikel inspiratif lainnya dan jangan lewatkan konten terbaru kami di HRDUII!
https://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2024/11/20241120-PSDM-Makna-Hidup-2.png14982000DSDM/SK UII Berdakwahhttps://hrd.uii.ac.id/wp-content/uploads/2023/03/DSDM-1030x330.pngDSDM/SK UII Berdakwah2024-11-22 10:09:202025-08-28 14:17:18Makna Hidup dalam Islam – Dakwah Universitas Islam Indonesia